
SuaraHKBP.com|| Ketika Kosuke Koyama dalam perjalanan pelayanan ke suatu gereja di pelosok Muangthai, ia disuguhkan pemandangan persawahan yang terhampar luas. Tampak para petani dari kejauhan membajak sawah yang berlumpur dengan kerbau. Ia pun sering menjumpai kerbau digembalakan di padang rumput yang ada di sekitar desa.
Suasana desa yang penduduknya petani ini—ternyata menjadi inspirasi bagi Koyama. Ia seakan diingatkan bahwa warga desa yang akan disampaikan Injil Kristus—sebagian besar waktunya dihabiskan bersama kerbau di sawah.
Kerbau itu pula yang mengingatkan Koyama—ketika berkotbah di gereja—agar menggunakan bahasa yang gampang dimengerti. Soalnya, warga gereja rata-rata petani yang tingkat pendidikannya rendah. Selain itu, kerbau yang dipergunakan penduduk setempat membajak sawah, juga mengisyaratkan Kosuke Koyama—jangan sampai terperangkap dengan istilah teologia yang tak dipahami warga gereja. Abstrak dan mengambang di awang-awang.
Firman Tuhan yang akan disampaikan, harus yang nyata dan riil. Tentang kehidupan mereka sehari-hari. Tidak terkecuali pengalaman serta pola hidup mereka yang tumbuh bersama budaya mereka sendiri. “Aku akan lebih banyak berkotbah tentang; beras, pisang, lada, anjing, kucing, sepeda, pupuk, musim hujan, rumah yang bocor, penangkapan ikan, sabungan ayam dan sakit perut. Inilah gambaran kehidupan warga gereja setempat yang ada maknanya bagi mereka,” tulis Kosuke Koyama dalam kata pengantar buku: “Dari Kerbau Sampai Ke Teologia di Muangthai.”
Kosuke Koyama dikenal pencetus; Water Buffalo Theology, pertama diterbitkan, 1974 kemudian direvisi pada 1999. Pemikiran Koyama dalam buku; Water Buffalo Theology (Teologi Kerbau) berkaitan juga dengan Teologi Ekologi,#Teologi Pembebasan#dan kontribusi terhadap dialog#Kristen-Budha.
Sebenarnya, Kosuke Koyama ingin memperkenalkan Allah, bukan sesuatu yang jauh dan tak tersentuh—melainkan dekat—akrab dalam hidup keseharian kita. Bukan sebatas itu saja, Allah pun bisa hadir di mana saja dan kapan saja. Justeru kita yang malah membuat jarak antara Allah dan manusia terlalu jauh dan berlebihan. Satu sisi, dengan semangat meluap-luap kita tak sadar—menempatkan Tuhan di dalam ruang “kudus” yang sempit dan sulit dijangkau. Ruang geraknya terbatas seperti yang kita rancang sendiri.
Lucunya, Tuhan dilarang pergi jauh ke rumah tetangga dan mengurusi persoalan rumah tangga orang lain. Malah dengan bangga membatasi wilayah kuasa Tuhan berdasarkan selera dan keinginan kelompok kita. Anehnya, Tuhan dipaksa supaya berpihak hanya kepada kelompok tertentu—seolah umat lain tak perlu diberkati dan dilindungi kasih Tuhan. Lantas, Tuhan tak leluasa bergerak dan melakukan sesuatu karena kita kerangkeng dalam ruangan hampa. Padahal, Allah adalah Allah maha tak terbatas. Tuhan pun jadi terbelenggu karena cara berpikir kita melampaui kuasa Tuhan. Kita mirip orang beragama tapi tidak ber-Tuhan.
Rupanya Koyama, hendak menegaskan bahwa pendekatan terhadap teologi tidak selamanya musti tunduk pada apa yang pernah dititahkan teolog-teolog seperti; Thomas Aquinas atau Karl Barth, Dietrick Bonhoeffer—melainkan lebih kepada kenyataan sehari-hari yang dialami oleh para petani Thailand (locus#theologicus) Sebut misalnya kerbau, bajak, pupuk, bibit pada unggulan irigasi. Ini yang lebih penting dan mendesak bagi petani di Muangthai ketimbang pandangan teolog Kristen yang mumpuni.
Begitupun di era digital ini—misi teologia kerbau sangat menarik sebagai acuan terhadap kuasa Tuhan di saat umat manusia rindu disapa, dijenguk, dirangkul, dikuatkan dan diberi penghiburan dan pengharapan dalam situasi yang tak menentu dan mencemaskan. Ketika kita masih dibatasi dalam banyak hal termasuk beribadah ke gereja karena wabah Covid-19—namun Tuhan yang berkuasa atas langit dan bumi dapat “hadir” di rumah dan di mana pun kita berada. (Mateus 18: 20) Sebab, kuasa Tuhan tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Tuhan ada di mana-mana (omni present).
Karena itu, hampir tidak ada lagi alasan menghindar menggunakan teknologi komunikasi digital untuk memberitakan injil—apalagi pada saat umat manusia berada pada posisi sulit akibat dampak Covid-19. Bahkan gereja harus bijak mengambil sikap bahwa teknologi termasuk berkat dan sumber daya untuk mengomunikasikan pemberitaan “Amanat Agung” di era digital. (digital ecclesiology) Baik warga jemaat maupun para pelayan firman sudah waktunya memanfaatkan teknologi untuk kelangsungan misi gereja.
Bercermin dari teologi kerbau yang sangat akrab dengan konteks lokal dan sekaligus peduli terhadap apa yang dialami warga gereja di pedesaan yang sangat sederhana saat itu. Kini, umat manusia di era digital yang ada di jagat raya ini—rame-rame berimigrasi menggunakan aneka ragam aplikasi berbasis internet seperti: zoom, meeting, live streaming, virtual, video call, Whatsapp Web.
Sangat wajar jika aplikasi ini banyak dimanfaatkan gereja dan komunitas warga gereja menyampaikan firman Tuhan. Melalui teknologi komunikasi modern di era digital ini, manfaatkanlah untuk menghadirkan Tuhan Maha Kuasa—Tuhan di atas segalanya dan melampaui segalanya (transcendent) Ingatlah, betapa kasih sayang Tuhan terhadap umat manusia ciptaanNya tiada taranya dari masa ke masa. (Baharuddin Silaen)
Be the first to comment