
SuaraHKBP.com|| Presiden Joko Widodo, meminta agar segenap aparat yang bertugas dalam penyekatan dan pengendalian mobilitas masyarakat di masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat tidak bersikap keras dan kasar. Aparat seharusnya bersikap tegas dan santun dalam mengatur masyarakat maupun para pedagang.
Selain itu, Presiden Jokowi minta kepada Polri dan juga nanti Mendagri kepada (pemerintah) daerah, agar jangan keras dan kasar, tetapi harus tegas dan santun. “Tapi sosialisasi memberikan ajakan-ajakan, sambil membagi beras, itu mungkin bisa sampai pesannya,” ujarnya.
Apa yang dilontarkan Presiden Jokowi, terkait sikap dan tindakan aparat di lapangan masa PPKM, menarik direspon dari presfektif komunikasi empati. Dalam kondisi darurat seper ini—tidak cukup hanya simpati tapi juga empati malah lebih penting untuk menentukan keberhasilan suatu komunikasi dua arah.
Sudah lama, Harold Lasswell (1948) salah satu ahli ilmu komunikasi yang fokus menyeliti suatu proses tindak komunikasi secara utuh. (Who, says what, in wich cahnnell, to whom, with what effect) Tidak terkecuali umpan balik dari pesan yang disampaikan komunikator—termasuk dalam kajiannya. Kendati Lasswell menyebutkan; effect untuk umpan balik bukan feedback.
Kajian itu, hendak mengingatkan siapa pun yang punya ide atau gagasan sebaiknya komunikator-opinion leader-influencer harus benar-benar memperhatikan instrumen perangkat media yang akan digunakan ketika hendak menyampaikan pesan. Bukan hanya itu, pilihan kata pun sangat menentukan apakah pesan diterima seperti apa yang diharapkan komunikator.
Ada kalanya pesan tidak sampai atau tidak diterima sama sekali. Pasalnya, diksi atau pilihan kata kurang tepat, informasi tidak jelas, fakta simpang siur, data tidak akurat dan tidak logis. Belum lagi—sikap komunikator yang kasar—arogan—petentengan dan sok berkuasa. Lumrah, apabila pesan tidak nyambung dan telolit. Bisa saja tak digubris sama sekali. Atau bentuk lain: melawan!
Agar pesan komunikator dapat diterima apa adanya, salah satu cara yang efektif—komunikasi empati harus digalakkan oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak komunikasi. Apalagi dalam kondisi masyarakat yang dihantui rasa cemas, khawatir, ketakutan, akibat dampak wabah Covid-19 yang melanda dunia saat ini.
Kondisi darurat seperti yang kita alami saat ini, sangat rentan memicu stres dan gampang tersinggung—jangan lagi diperparah oleh berbagai opini liar yang tidak logis. Betul, informasi/pesan yang tidak logis pertanda kedunguan sang komunikator yang efeknya bisa membodohi penerima pesan (komunikan) Model komunikator semacam ini harus dilawan bersama-sama agar masyarakat terhindar dari tipu-tipu dan menyesatkan pikiran sehat.
Karena itu, opinion leader/komunikator yang bertugas di lapangan, harus benar-benar tangguh dan “tahan banting” ketika melayani masyarakat yang sedang dikepung berbagai beban yang berat. Caranya, bersikap empati ketika menyampaikan informasi. Sikap empati akan menciptakan interaksi yang sejuk—nyaman dan membuat kedua belah pihak saling memahami,
Selain itu, keunggulan komunikasi empati dapat melunakkan hati yang keras. Soalnya, seseorang yang memiliki sikap empati—cenderung memposisikan dirinya setara dengan orang lain. Bahkan, ia berupaya masuk untuk merasakan pergumulan yang menimpa orang lain. Dia dengan suka rela akan menaggalkan sederet atribut yang melekat pada dirinya agar dapat diterima pihak lain sebagaimana adanya.
Salah satu pendekatan yang ampuh dari orang yang berempati; “Apa yang bisa saya bantu?” (What can I do for you) Pertanyaan ini untuk mengetahui kebutuhan apa yang mendesak. Apa yang sangat dibutuhkan. Ada skala prioritas kebutuhan. Tidak sembrono. Apa sebenarnya yang dibutuhkan? Bantuan sosial?
Ciri orang yang berempati meliputi keinginan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain. Selalu menyapa; ada yang bisa dibantu? Tidak merasa lebih hebat dari orang lain. Bersedia mendengarkan keluhan orang lain. Memposisikan dirinya setara dengan orang lain. Tidak memaksakan kehendaknya untuk dilakukan orang lain.
Empati menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia; keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengindentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.
Aparat yang ditugaskan pemerintah agar tetap sabar melayani masyarakat di masa PPKM ini. Berbagai tingkah laku masyarakat di lapangan harus dimaklumi dan mendahulukan sikap empati. Hindarilah sikap kasar—kekerasan dan sikap berkuasa. Berikan kesejukan dan berkomunikasilah dengan santun. Bangsa kita dalam keadaan darurat. Semua membutuhkan ketenangan dan kenyamanan.
Pengalaman kita hampir sama tiap kali mendengar bunyi sirene ambulans membuat pikiran terganggu. Apalagi tiap hari dari pagi sampai malam bunyi sirene meraung-raung di jalanan. Belum lagi pengumuman orang meninggal dari masjid—tiap hari ada yang meninggal. Hati dan pikiran galau, cemas, khawatir dan ketakutan. Pikiran melayang entah ke mana.
Sebab itu, kepada aparat yang ditugaskan di masa PPKM ini di mana pun bertugas—doa kami untuk kalian. Tetap semangat dan sehat selalu. Berikan yang terbaik untuk bangsa ini. Mari kita tetap taat protokol kesehatan.
(Baharuddin Silaen, mengajar di Fisipol-Ilmu Komunikasi UKI Jakarta)
Be the first to comment