Belajar dari Banjir Bandang Parapat

Kondisi Parapat saat banjir bandang.
Kondisi Parapat saat banjir bandang.

Banjir bandang yang menerjang kawasan wisata Parapat, dan Desa Sibaganding , Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kamis (13/5) membuat sontak kaget dan terperangah. Warga mendadak panik menyaksikan banjir bandang menghantam apa saja yang dilaluinya. Tak lama berselanag, batu, potongan kayu besar dan serpihan materil hanyut terbawa arus deras dan berjejal di sepanjang jalan. Beberapa rumah rusak dan akses transportasi sempat terputus akibat teredam lumpur.

Terkait banjir bandang, Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang, mendorong Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, segera mengevaluasi izin pinjam pakai hutan. “Segera turun ke lapangan melakukan penumpasan aksi illegal logging yang terjadi di sana, serta melakukan evaluasi terhadap semua izin pinjam pakai hutan kepada para pengusaha,” kata Junimart seperti dikutip Antara, Jumat (14/5)

Selain itu, Ephorus HKBP Pdt Robin Butarbutar, mengatakan banjir bandang di Parapat sebagai dampak dari penurunan kualitas lingkungan hidup dan hutan di sekitar Danau Toba.

Berdasarkan investigasi Komite Gereja dan Masyarakat (KGM) HKBP degan mitranya atas rentetan peristiwa tersebut, Robin Butarbutar, menyatakan, banjir bandang ini memiliki kaitan erat dengan aktivitas penebangan hutan di Sitahoan dan kawasan hutan Sibatu Loting.

Apa yang dilontarkan Pdt Robin Butarbutar, pimpinan HKBP gereja terbesar di Asia Tenggara itu, dipahami sebagai bentuk sikap serius serta komitmen gereja terhadap lingkungan hidup serta alam semesta. Memang, sejak awal gereja (HKBP) sangat konsisten terhadap keutuhan ciptaan dan lingkungan hidup di bumi ciptaan Tuhan ini.

 

Taman Jubileum 50 Tahun Dewan Gereja Asia di Parapat.
Taman Jubileum 50 Tahun Dewan Gereja Asia di Parapat.

Meskipun sebutan “keutuhan ciptaan dan lingkungan hidup” muncul pertama kali dalam sidang gereja-gereja sedunia (DGD VI) di Vancouver, Kanada, 1983, namun kepedulian gereja menjaga lingkungan hidup dan alam bukanlah hal baru. Ketika Sidang Raya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) diselenggarakan di Surabaya, 1989, isu lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan, gaungnya terdengar kembali dalam percakapan.

Ajakan yang sama, yaitu memelihara lingkungan hidup, kembali berkumandang di Soul, Korea Selatan, Maret 1990. Pada kesempatan itu, gereja-gereja didorong agar menyatukan diri dan secara bersama-sama memperjuangkan keutuhan ciptaan Tuhan di bumi ini.

Begitu juga pada perayaan Jubileum 50 Tahun Dewan Gereja Asia (CCA) di Parapat, 2007, soal lingkungan hidup termasuk agenda dalam sidang. Bahkan sebagai bukti kepedulian gereja terhadap lingkungan hidup, sebanyak 59 peserta konferensi bersama-sama menanam pohon di area Panatapan, Parapat. Lokasi ini saat ini menjadi: Taman Jubileum 50 Tahun CCA.

Aksi tanam pohon ini diliput media dari luar negeri dan dalam negeri. Termasuk jurnalis Suara HKBP: Baharuddin Silaen dan Puji Aritonang meliput penanaman pohon di Panatapan, Parapat.

Kala itu tuan rumah perayaan dipercayakan kepada PGI Wilayah Sumatera Utara, Ketua Umum Pdt Willem TP Simarta (Sekretaris Jenderal HKBP) Sejak 2007 hingga kini, Taman Jubileum 50 Tahun CCA, di Panatapan, Parapat, dirawat dengan baik. Pohon yang ditanaman 14 tahun lalu itu, kini tubuh besar menghias area perbukitan.

Tentulah kita sepakat, menjaga dan memelihara kelestarian alam bukanlah tanggung jawab gereja semata, tapi semua umat manusia punya kesempatan yang sama. Siapa pun harus mau peduli akan alam yang dihuni umat manusia. Menjaga dan merawat bumi. Hanya satu bumi. Tempat kita bersama. Tidak ada yang lain.

Coba simak bagaimana Allah menciptakan bumi yang kita huni ini. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” Kejadian 1: 1. Allah yang menciptakan (to create) langit dabumi. Menciptakan dalam bahasa Ibrani: bara. Kata bara, dipakai hanya bila suatu tindakan adalah tindakan ilahi dan hasinya adalah baru sama sekali atau baru secara ajaib. (Only God can create in the sense implied by bara)

Allah menciptakan dunia selama enam hari secara teratur dan tertib lalu mengambil hari ketujuh untuk beristirahat. Dalam waktu enam hari Allah mengatur segala sesuatu yang dicipta-Nya. Hari Tuhan bukanlah hari ukuran manusia.

Setelah Allah selesai menciptakan semua itu, Allah menilai bahwa semua itu baik. Allah menciptakan semua itu melalui firman-Nya. Allah menyatakan kuasa-Nya dengan memisahkan cahaya dari kegelapan, serta langit dari bumi.

Kemudian, bumi itu menjadi tempat manusia hidup. Manusia adalah makhluk bumi, sebab manusia terbentuk dari ‘debu tanah’ (Ibraninya, adamah) Manusia yang dibentuk oleh Allah menjadi makhluk hidup ketika Allah menghembuskan napas hidup kepadanya (Kejadian 2:7)

Setelah semuanya sudah sempurna, lalu Allah memberikan mandat kepada manusia. “Penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi. Kejadian 1: 28.

Allah memberikan wewenang kepada manusia untuk “menaklukkan” dan “menguasai” bumi ciptaanNya. Manusia diciptakan Allah dengan tujuan spesifik dan sekaligus mempunyai nilai intrinsik yang tidak dimiliki oleh ciptaan lain, lengkap dengan tubuh, jiwa dan roh. Manusia adalah imago dei; diciptakan segambar dan serupa dengan Tuhan.

Tugas manusia di bumi ciptaan Allah; menaklukkan (Ibrani: Kabbas) Artinya; mengolah dan mengerjakan. Menaklukkan bukan berarti menguasai sumber alam dengan sesuka hati. Tapi mengolahnya dengan tetap memperhatikan ekosistem jangana sampai terganggu.

Mandat berikutnya: berkuasa (Ibrani: Raddah) Artinya: tugas untuk. Makna menguasai lebih cenderung memelihara, merawat, menjaga, melestarikan dari kepunahan. Allah juga menyerahkan tanggung jawab kepada manusia untuk merawat, memelihara alam semesta agar ekosistem tetap terjaga dengan baik.

Sangat berbahaya ketika, ekosistem terganggu, lambat atau cepat hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya akan ikut terganggu dan bencana alam akan segera melanda lingkungan sekitranya. Soalnya, ekosistem suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi.

Penyebab lain, kerusakan lingkungan hidup karena ulah manusia tak bertanggung jawab. Sifat ego berlebihan ingin menguasai sumber daya alam sebanyak mungkin demi kepentingan dan keuntungan sendiri. Bayangkan, bila eksploitasi tersembunyi dilakukan terus menerus, dapat dipastikan akan berdampak buruk bagi lingkungan hidup dan bencana alam pun tak terelakkan. Seperti banjir bandang yang terjadi di Parapat. Kejadian ini, pelajaran berharga bagi kita bersama.

Ingat, sepanjang sikap rakus manusia menguras isi perut bumi tak dapat dibendung, akan menambah deretan bencana alam di belahan bumi ini. Manusia berlomba mengeksploitasi sumber daya alam seperti takut tak dapat bagian. Bahka ada yang sembunyi-sembunyi dan main kucing-kucingan dengan petugas. Bahkan ada pihak yang sengaja menutup mata, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Beruntung masih ada yang gigih memperjuangkan kelangsungan lingkungan hidup dari tangan jahil yang tega membabat hutan lindung di beberapa daerah. Sebut saja; Sahala Arfan Saragi, Jejetobing, D.m. Micher Butarbutar, Pdt Nelson Siregar, Pdt Rein Justin Gultom, Malwin Sitompul.

Stop eksploitasi suber daya alam, sekerang juga! (Baharuddin Silaen)

 

IKLAN

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.