
Psikolog dan pemikir Perancis, Gustave Le Bon (1841-1931) dalam karya besarnya: The Crowd yang terbit pertama kali pada 1895, (Bon, 2001) secara lugas
mengidentivikasi massa sebagai sesuatu yang “excitable (menggebu-gebu) credulous (gampang dipengaruhi) impulsive (bertindak tanpa kendali) violent (kasar/bringas) or even heroic” (merasa pahlawan)
Karyanya inilah dikemudian hari melambungkan nama Le Bon, sebagai bapak psikologi massa. Bahkan sejak itu, psikologi yang awalnya hanya menaruh perhatian pada persoalan jiwa individual, mulaiberkonsentrasi juga pada persoalan kelompok dan masyarakat, termasuk kerumunan atau massa.
Analisis Gustav Le Bon ini, hendak menjelaskan—siapa pun yang ada dalam suatu kerumunan pola pikir, sikap, dan tindakannya sama. Tak terkecuali lingkup emosioanal dan irasional berada di wilayah sensitif yang gampang disulut. Soalnya, dalam keremunan dengan berbagai latar belakang sosial dan atribut lain yang melekat dalam diri individu akan mendakdak tersingkir dan berubah menjadi kerumanan berwajah sangar dan garang.
Sosiolog Gabriel Tarde (1843-1904) dari Perancis, menyebutnya sebagai imitasi bentuk lain dari interaksi mental individu. Boleh saja terjadi imitasi/peniruan tindakan ketika berada dalam kerumunan. Saling mempengaruhi untuk mencapai tuntutan yang cenderung agresif dan destruktif.
Ciri kerumunan itu spontan. Meskipun tidak saling mengenal tapi mereka cepat melebur menjadi satu kelompok yang merasa nasibnya serupa. Pada mulanya semua berjalan sesuai aturan. Demonstran tertib dan damai. Tiba-tiba menjadi ricuh dan anarkis. Merusak dan membakar. Melempari petugas. Menghajar siapa saja yang menghalangi mereka,
Solanya, satu orang yang melempar dari keremunan akan diikuti yang lain. Satu orang yang berteriak yang lain akan serentak berteriak. Inilah imitasi perilaku yang menyeruak dalam kerumunan. Spontan. Kerumunan cepat menularkan kekerasan. Apalagi durasi demo termasuk lama—berbagai hal bisa berubah dengan cepat dalam kerumunan. Belum lagi kalau disusupi provokator, bertambah runyam keadaannya. Tak jelas lagi yang mana unjuk rasa damai.
Kerumunan itu rentan mendatangkan kerusuhan. Soalnya, tiap individu yang ada dalam kerumunan gampang kehilangan identitas diri. Disebut anonimitas. Identitas individu tercerabut dari personalitas saat bergabung dalam kerumunan. Nyaris lupa norma-norma serta etika dalam bertindak.
Bersamaan dengan itu intelektual individu juga melorot tak keruan. Sebab mereka saling meniru perilaku angggota kelompok. Maklum, tindakan kerumunan selalu memperhatikan apa yang diinginkan kelompoknya. Selain itu, rasa permusuhan dan kebencian terus menerus digas dan digenjot.
Ketika unjuk rasa berubah menjadi ricuh dan anarkis—saat itulah negara hadir menindak tegas pelaku anarkis. Aparat keamanan harus bertindak tegas dan responsif terhadap kerumunan yang melakukan pembakaran fasilitas umum. Negara punya wewenang menindak perusuh dan pelaku anarkis demi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Selain itu, negara menjamin setiap warga negara menyampaikan pendapatnya yang sekaligus ciri negara demokrasi. Namun, negara berwewenang menindak tegas pengunjuk rasa yang bertindak anarkis dan membuat masyarakat ketakutan. bas
Be the first to comment