
SuaraHKBP.com | Voltaire lahir di Paris, pada 1694 dari keluarga menengah. Ayahnya ahli hukum. Nama aslinya, Francois Marie Arouet. Mengenyam pendidikan di perguruan Jesuit Louis-le-Grand di Paris. Sempat belajar ilmu hukum sebentar—entah kenapa kemudian ditinggalkannya.
Orangnya cerdas. Piawai membuat humor dan acap melontarkan kalimat satire. Padahal tingkah laku yang suka nyinyir di era ancient regime alias pemerintahan lama—bisa membahayakan diri sendiri. Buktinya dia ditahan “diamankan” di penjara Bastille—lantaran ucapannya yang ceplas-ceplos.
Hampir setahun penuh dia meringkuk di penjara. Tetapi semangatnya tak pernah padam—tetap berkarya dari balik jeraji besi. Ia menulis sajak-sajak kepahlawanan Henriade yang kemudian dapat penghormatan tinggi.
Ternyata bagi Voltaire, penjara adalah ruangan inspirasi untuk tenang berpikir. Ia mendekam 11 bulan di balik jeruji. Bukan itu saja, dia juga diganjar hukuman singkat di Bastille pada April 1726. Dia ditangkap karena berencana duel dengan seorang bangsawan yang telah menghina dan memukulinya. Terpaksa ia mengasingkan diri ke Inggris—tempat ia tinggal selama hampir tiga tahun.
Kemudian ia menuliskan tumpukan korespondensi yang berjumlah sekitar 20.000 surat kepada teman dan orang yang sezaman dengannya. Ia dikagumi sebagai penulis berbakat dan hebat. Sering menghabiskan waktu hingga 18 jam sehari untuk menulis atau mendikte kepada sekretarisnya untuk menuliskan pikirannya. pedia
Setelah Voltaire menghirup udara bebas (1718) drama Oedipe-nya diprodusir di Paris dan merebut sukses besar. Hebatnya pada umur 24 tahun ia sudah jadi orang termasyhur. Dalam sisa 60 tahun hidupnya benar-benar jadi jagonya kesusasteraan Perancis.
Sebenarnya Voltaire, bukanlah ahli ilmu pengetahuan—tetapi dia menaruh minat besar terhadap ilmu. Ia salah satu pengagum pandangan empiris dari John Locke dan Francis Bacon. Rupanya ia juga seorang ahli sejarah yang serius dan handal. Salah satu karyanya yang terpenting berkaitan dengan sejarah dunia; Essay on the Manners and Spirit of Nations.
Teman-temannya mengenal Voltaire, memiliki kepintaran ganda yang langka dimiliki orang pada zamannya. Selain pintar mendapatkan uang—apalagi soal berdebat ia jagonya. Tampil percaya diri dan setiap berdebat selalu memukau di hadapan publik. Agaknya ia sadar memiliki kelebihan dan itulah membuatnya bergaya hidup bebas serta didukung kantong penuh uang. Wajarlah bila ia berperilaku serba bebas—maklum ia menyadari sebagai orang yang dikagumi karena cerdas dan brilian dalam adu pendapat.
Sayang dia kurang supel dan rendah hati. Soalnya bagi aristokrat Perancis—kerendahan hati dianggap suatu persyaratan yang mesti dipunyai oleh seorang. Inilah menyebabkan pertentangan antara Voltaire dengan kaum aristokrat, khususnya Chevalier de Rohan yang dikalahkan oleh kecerdasan Voltaire dalam adu kata. Lucunya, Chevalier mengupah tukang pukul mempermak Voltaire dan sekaligus menjebloskannya lagi kedalam penjara Bastille. Voltaire dibebaskan dengan syarat dia mesti meninggalkan Perancis. Lalu ia memilih menyeberang ke Inggris dan tinggal di sana selama dua setengah tahun.
Setelah pindah ke Inggris dia mulai belajar berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris. Ia pun menjadi terbiasa dengan karya-karya besar orang Inggris—seperti John Locke, Francis Bacon, Isaac Newton dan William Shakespeare. Kemudian semakin akrab dengan kaum cendikiawan Inggris masa itu. Sejak itu, Voltaire menaruh perhatian terhadap Shakespeare dan ilmu pengetahuan Inggris serta empirisme. Antara lain, paham yang berpegang pada perlunya ada percobaan secara praktek dan bukannya berpegang pada teori melulu.
Bagi Voltaire sistem politik Inggris—demokrasi dan kebebasan pribadi sangat berlawanan dengan apa yang disaksikannya di Perancis. Tak ada bangsawan Inggris bisa mengeluarkan letre de cachet yang dapat menjebloskan Voltaire ke dalam bui. Sebab, kalau toh dia ditangkap semena-mena—perintah pembebasan segera diperolehnya.
Karena tulisannya yang kerap merendahkan segala sesuatu mulai dari agama yang diorganisasi hingga sistem peradilan, wajarlah Voltaire menghadapi banyak sensor dari pemerintah Prancis. Sebagian besar karyanya ditahan—pihak berwenang bahkan memerintahkan buku-buku tertentu untuk dibakar.
Namun, Voltaire tidak habis akal—tulisannya pun dicetak di luar negeri. Dia menerbitkannya dengan nama samaran. Novelnya yang terkenal; ”Candide” awalnya dikaitkan dengan nama: Dr Ralph.
Upaya mengelabui dengan nama samaran, ternyata membuat hidupnya tidak nyaman dan ketakutan oleh pemerintah Prancis. Dia kemudian terpaksa mengungsi ke pedesaan Prancis setelah ”Letters Concerning the English Nation” dirilis pada 1734. Selanjutnya menghabiskan sebagian besar hidupnya di pengasingan tidak resmi di Swiss.
Ketika Voltaire kembali ke Perancis, dia menulis karya falsafahnya yang pertama; Lettres philosophiques yang populer disebut: Letters on the English. Buku itu diterbitkan tahun 1734 sekaligus merupakan salah satu bukti perubahan dari era pembaharuan Perancis. Dalam Letters on the English, Voltaire menyuguhkan gambaran umum yang menyenangkan tentang sistem politik Inggris berikut pikiran-pikiran John Locke dan pemikir-pemikir Inggris lainnya. Buntutnya, buku itu lagi-lagi bikin berang para penguasa Perancis dan Voltaire dipaksa angkat kaki dari Paris.
Ia menghabiskan waktu 15 tahun di Cirey, salah satu kota di sebelah utara Perancis. Dia menjadi kekasih Madame du Chatelet, istri seorang marquis (bangsawan) Nyonya ini cerdas dan berpendidikan. Tahun 1750—setahun sesudah sang nyonya meninggal dunia, Voltaire pergi ke Jerman atas undangan pribadi Frederick yang Agung dari Prusia. Kurang lebih tiga tahun tinggal di kediaman Frederick di Potsdam. Mulanya dia cocok dengan Frederick yang intelektual dan brilian itu tetapi tahun 1753 mereka bertengkar dan Voltaire meninggalkan Jerman.
Sesudah meninggalkan Jerman Voltaire menetap di salah satu perkebunan dekat Jenewa. Ia merasa aman dari gangguan Perancis maupun raja-raja Prusia selama tinggal di perkebunan ini. Tetapi, pandangannya yang liberal membuat bahkan Swiss tidak aman lagi baginya. Tahun 1758 pindah ke perkebunan baru di Ferney—terletak di dekat perbatasan Perancis-Swis, sehingga memudahkan ia lari ke sana kemari andaikan ada persoalan mendadak dengan pihak penguasa. Ia tinggal di tempat ini selama 20 tahun. Selama itu pula ia menggeluti karya kesusasteraan dan falsafah—mengirim surat dengan pemimpin-pemimpin intelektual di seluruh Eropa dan menerima tamu-tamunya.
Sepanjang tahun itu, karya sastra Voltaire mengalir deras. Dia hendak membuktikan dirinya benar-benar seorang penulis dengan gaya fantastis—mungkin penulis yang paling banyak bukunya dalam daftar buku ini. Kumpulan tulisannya melebihi 30.000 halaman. Ini termasuk sajak kepahlawanan, lirik, surat-surat pribadi, pamflet, novel, cerpen, drama dan buku-buku serius tentang sejarah dan falsafah.
Satu lagi yang menarik dari Voltaire—punya kepercayaan teguh terhadap toleransi beragama. Tatkala usianya menginjak 60-an, terjadi sejumlah peristiwa pengejaran dan pelabrakan terhadap orang-orang Protestan di Perancis. Tergugah dan marah besar—Voltaire mengabdikan dirinya ke dalam “jihad intelektual ” melawan fanatisme agama. Hampir semua surat-suratnya diakhiri dengan kalimat: “Ecrasez l’infame.” Artinya; “Ganyang barang brengsek itu!” Voltaire sengaja memakai kata “barang brengsek” yang ditujukan kepada kejumudan dan fanatisme.
Ketika umurnya mencapai 83 tahun pada 1778, Voltaire kembali ke Paris—menyaksikan drama barunya Irene. Penonton berjubel sambil bersorak-sorak; “Hidup jago tua! Hidup biangnya pembaharuan Perancis!” Ribuan pengagumnya, termasuk Benjamin Franklin, menjenguknya. Tidak lama kemudian ia meninggal di Paris, 30 Mei 1778.
Akibat sikapnya yang keras terhadap gereja, dia tidak dikebumikan secara Kristen. Tetapi, 13 tahun kemudian, kaum revolusioner Perancis yang telah merebut kemenangan—menggali makamnya kembali dan menguburnya di Pantheon Paris.
Salah satu yang tak boleh dilupakan dari Voltaire—kegigihannya memperjuangkan kebebasan bicara dan kebebasan pers. Perjuangan inilah membuatnya dikagumi dan di hormati hingga kini. “Saya tidak setuju apa yang kau bilang, tetapi akan saya bela mati-matian hakmu untuk mengucapkan itu.” Ucapan inilah yang dikenang banyak orang dari Voltaire.
Selain itu, ia juga berjuang atas dijaminnya kebebasan beragama. Menentang ketidaktoleransian agama serta penghukuman yang berkaitan dengan soal-soal agama. Meskipun Voltaire percaya adanya Tuhan, dia tidak segan-segan menentang dogma agama. Misalnya, ia pernah mengatakan—bahwa organisasi berdasar keagaman pada dasarnya suatu penipuan.
Tentang gelar keningratan Prancis, ia berpendapat lain—gelar itu tidak menjamin mutu, dan pada dasarnya tiap orang sebenarnya mafhum bahwa apa yang disebut “hak-hak suci raja” itu omong kosong belaka. Bahkan ia sendiri menentang setiap kekuasaan yang diperoleh berdasarkan garis keturunan. Karena itu, pengikut Voltaire dikenal berpihak pada demokrasi. Termasuk gagasan politik dan agamanya sejalan dengan paham pembaharuan Perancis, dan merupakan sumbangan penting hingga meletusnya Revolusi Perancis tahun 1789.
Ada lagi yang menarik dari Voltaire—gaya sastranya yang menggigit. Tidak terkecuali tulisannya tak tertandingi oleh penulis-penulis yang mana pun. Begitu pula buku-bukunya tersebar dan terbaca luas selama abad ke-18. Tak heran kalau Voltaire dianggap berperan mengubah iklim politik yang berujung pada meletusnya Revolusi Perancis. Disebutkan, pengaruhnya tidak sebatas di Perancis: namun orang-orang Amerika seperti Thomas Jefferson, James Madison dan Benjamin Franklin juga kenal baik dengan tulisan-tulisannya.
Baharuddin S/dari sumber lain.
Be the first to comment