Leo Tolstoy: Mengutamakan Kasih dan Melawan Kekerasan

Tolstoy sangat tertarik dengan Kotbah Yesus di Bukit dalam Alkitab Perjanjian Baru, Mateus 5-7, yang dikemudian hari menjadi landasan keyakinannya serta sangat kuat mempengaruhi pandangan hidupnya.

Mengutamakan Kasih dan Melawan Kekerasan
Leo Tolstoy

SuaraHKBP.com | Leo Tolstoy dilahirkan di Yasnaya Polyana, tanah leluhurnya yang terletak di wilayah Tula, Rusia. Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Sejak itu, ia dibesarkan oleh sanak keluarganya.

Pernah belajar hukum dan bahasa-bahasa Oriental di Universitas Kazan pada 1844 hingga akhirnya ia meninggalkan universitas itu. Dosennya menggambarkan dirinya; “tidak mampu dan tidak mau belajar.”

Kemudian ia kembali di tengah-tengah studinya ke Yasnaya Polyana dan menghabiskan banyak waktunya di Moskwa dan St. Petersburg. Setelah terjerumus ke dalam utang yang besar karena berjudi, Tolstoy menemani kakaknya ke Kaukasus pada 1851 dan masuk ke dalam Tentara Rusia.

Pada 1862 ia menikah dengan Sofia Andreevna Bers, yang usianya 16 tahun lebih muda, dan mereka dikaruniai 13 orang anak.

Rupanya, Tolstoy sangat tertarik dengan Kotbah Yesus di Bukit dalam Alkitab Perjanjian Baru, Mateus 5-7, yang dikemudian hari menjadi landasan keyakinannya serta sangat kuat mempengaruhi pandangan hidupnya.

Secara khusus ia terispirasi dengan ucapan Yesus; “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” Ucapan Yesus ini, dipahaminya sebagai pembenaran bagi pasifisme. Anti kekerasan dan anti perlawanan.

Intinya, mengutamakan kasih terhadap siapa pun dan melawan segala bentuk kekerasan. Tolstoy percaya, menjadi Kristen membuatnya seorang pasifis—tapi karena kekuatan militer yang digunakan oleh pemerintahnya—menjadi pasifis berarti menjadi anarkis.

Namun pola hidupnya yang berlandaskan kasih itu, tak selamanya berjalan mulus. Buktinya, ia merasa sangat terisolasi di dalam keyakinan-keyakinannya ini. Tak heran kalau ia sempat mengalami depresi yang begitu parah. Setiap melihat tambang, ia ingin menggantung dirinya sendiri. Bahkan menyembunyikan senapan-senapannya untuk mencegahnya melakukan bunuh diri.

Selain penulis terkenal di Rusia, ia juga seorang filsuf yang sarat nilai agama dan moral yang disebut Tolstoyisme. Pandangan Tolstoy terbentuk di bawah pengaruh ajaran Timur, agama Budha hingga Islam. Salah satu penganut ajaran ini adalah Mahatma Gandhi. Dasar ideologi dalam perlawanan terhadap kejahatan adalah kesempurnaan moral. Pengikut Tolstoy mengkritik gereja Ortodoks dan karena hal inilah Tolstoy dianggap sebagai sekte berbahaya. Akibatnya, Tolstoy pun dikucilkan dari gereja.

Tolstoy percaya bahwa seorang Kristen—harus memeriksa hatinya sendiri untuk menemukan kebahagiaan, ketimbang memandang ke luar kepada gereja atau negara. Keyakinannya akan anti kekerasan ketika menghadapi penindasan menjadi ciri khas lain dari filosofinya. Dengan memengaruhi Mahatma Gandhi secara langsung dengan gagasan ini melalui karyanya; Kerajaan Allah Ada di Dalam Dirimu

Tolstoy telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap gerakan perlawanan anti kekerasan hingga masa kini. Ia yakin bahwa kaum aristokrasi merupakan beban bagi kaum miskin. Ia juga menentang hak milik pribadi dan institusi perkawinan serta menjunjung gambaran ideal selibat dan pantangan seksual

Karya Tolstoy di kemudian hari sering dikritik karena terlalu didaktik dan ditulis secara tambal-sulam, namun menggali semangat dan dinamisme dari kedalaman pandangan moralnya yang keras. Rangkaian pencobaan terhadap Sergius dalam Romo Sergius, misalnya, adalah salah satu kemenangannya di kemudian hari.

Gorky mengisahkan tentang bagaimana Tolstoy suatu kali membacakan bagian ini di hadapannya dan Chekhov dan bahwa Tolstoy begitu terpengaruh hingga mencucurkan air mata pada akhir pembacaan itu. Alinea-aliena lainnya yang belakangan yang mempunyai kekuatan yang luar biasa termasuk krisis pribadi yang dihadapi oleh para tokoh protagonis dari Kematian Ivan Ilyich dan Tuan dan Manusia, di mana tokoh utamanya (dalam Ilyich) atau pembaca (dalam Tuan dan Manusia) dijadikan sadar akan kebodohan kehidupan para tokoh protagonisnya.

Leo Tolstoy adalah salah satu dari raksasa dari sastra Rusia abad ke-19. Karyanya yang paling terkenal antara lain adalah novel-novelnya Perang dan Damai dan Anna Karenina, serta banyak karya-karya yang lebih singkat termasuk sejumlah novella Kematian Ivan Ilyich dan  Hadji Murad.

Rekan-rekan sezamannya sangat menghormatinya, seperti Dostoyevsky menganggapnya sebagai yang terbesar di antara semua novelis yang hidup saat itu. Lalu Gustave Flaubert  menjulukinya; “Seorang seniman hebat, seorang psikolog hebat!”

Termasuk Anton Chekhov, yang sering kali mengunjungi Tolstoy di tanahnya di pinggiran kota, menuliskan; “Ketika sastra memiliki seorang Tolstoy, menjadi penulis itu mudah dan menyenangkan; bahkan bila kita tahu bahwa kita sendiri tidak mencapai hasil apa-apa, itu tidak menjadi masalah karena Tolstoy yang berprestasi untuk kita semua. Apa yang dilakukannya berguna untuk membenarkan semua harapan dan aspirasi yang ditanamkan dalam sastra.”

Para kritikus dan novelis yang belakangan terus memberikan kesaksian terhadap seninya; Virginia Woolf menyatakan Tolstoy sebagai; “yang terbesar di antara semua novelis.” Tak ketinggalan Thomas Mann, menceritakan tentang seni penulisannya yang tampaknya jujur—”Jarang sekali suatu karya seni yang begitu mirip dengan alam”—perasaan-perasaan yang juga dimiliki oleh banyak orang lainnya, termasuk Marcel Proust, Vladimir Nabokov dan William Faulkner, memberikan kesaksian yang sama.

Novel-novel otobiografinya, Masa Kanak-kanak, Masa Kecil, dan  Remaja (1852–1856) Terbitan yang pertama, menceritakan tentang anak seorang tuan tanah yang kaya dan kesadarannya yang bertumbuh perlahan tentang perbedaan-perbedaan antara dirinya dengan teman-teman bermainnya yang keturunan penggarap.

Meskipun dalam kehidupannya di kemudian hari Tolstoy menolak ketiga buku ini dan menganggapnya sentimental, banyak dari hidupnya disingkapkan dalam buku-buku ini. Novel ini masih relevan karena isinya menceritakan kisah yang universal tentang pertumbuhan dari masa kanak-kanak menjadi dewasa.

Dalam resimen artileri Tolstoy berpangkat letnan dua selama Perang Krim. Ia mengisahkan semua ini dalam bukunya Sketsa-sketsa Sevastapol. Pengalaman-pengalamannya di medan pertempuran menolong dirinya mengembangkan pasifisme, dan memberikan kepadanya bahan untuk gambaran yang realistik tentang kengerian perang dalam karya-karyanya di kemudian hari.

Fiksinya secara konsisten berusaha menyampaikan secara realistik masyarakat Rusia yang ada pada masanya. Orang-orang Kosak (1863) menggambarkan kehidupan dan keadaan bangsa Kosak melalui cerita tentang seorang bangsawan Rusia yang jatuh cinta dengan seorang gadis Kosak. Anna Karenina (1877) mengisahkan cerita-cerita perumpamaan tenang seorang perempuan yang berzinah—yang terjebak oleh kebiasaan dan kepalsuan masyarakat—serta tentang seorang pemilik tanah yang filosofis (mirip sekali dengan Tolstoy) yang bekerja bersama-sama dengan para penggarap di ladang dan berusaha memperbarui hidup mereka.

Tolstoy tidak hanya menggali dari pengalaman hidupnya sendiri tetapi juga menciptakan tokoh-tokoh sesuai dengan gambarannya, seperti misalnya Pierre Bezukhov dan Pangeran Andrei dalam Perang dan Damai, Levin dalam Anna Karenina dan sampai batas tertentu, Pangeran Nekhlyudov dalam Kebangkitan.

Perang dan Damai umumnya dianggap sebagai salah satu novel terbesar yang pernah ditulis, luar biasa luasnya dan keutuhannya. Kanvasnya yang luas mencakup 580 tokoh cerita—banyak di antaranya historis—yang lainnya fiktif. Ceritanya beralih dari kehidupan keluarga ke markas besar Napoleon, dari istana Alexander I dari Rusia ke medan tempur dari Austerlitz dan Borodino.

Buku ini ditulis dengan maksud menjelajahi teori sejarah Tolstoy, dan khususnya ketidakberarian pribadi-pribadi seperti Napoleon dan Alexander. Ada yang agak mengejutkan, Tolstoy tidak menganggap Perang dan Damai sebagai sebuah novel (ia pun tidak menganggap banyak fiksi besar Rusia lainnya yang ditulis pada masa itu sebagai novel).

Belakangan ia lebih berkonsentrasi pada tema-tema Kristen, dapat ditemukan dalam novelnya, Kematian Ivan Ilyich (1886) dan Jadi apa yang harus kita lakukan?  Tampaknya ia mengembangkan suatu filsafat Kristen anarko-pasifis yang membuat ia dikucilkan dari Gereja Ortodoks pada 1901.

Ada lagi yang menarik, tentang sepucuk surat yang ditulis Tolstoy yang dikirim ke salah satu surat kabar India berjudul; “Surat kepada seorang Hindu.” Surat ini menghasilkan suatu korespondensi panjang dengan Mohandas Gandhi, yang saat itu berada di Afrika Selatan dan sedang mulai menjadi seorang aktivis. Korespondensi dengan Tolstoy ini sangat memengaruhi Gandhi dalam mengembangkan konsep perlawanan tanpa kekerasan—salah satu bagian sentral dari pandangan Tolstoy tentang Kristen.

Bersama dengan idealismenya yang berkembang, ia juga menjadi seorang pendukung utama gerakan Esperanto. Tolstoy terkesan oleh keyakinan pasifis dari kaum Doukhobor dan mengangkat kasus penganiayaan yang mereka alami ke masyarakat internasional—setelah mereka membakar senjata-senjata mereka dalam sebuah protes damai pada 1895. Ia menolong kaum Doukhobor untuk pindah ke Kanada.

Pada 1904, ketika pecah Perang Rusia-Jepang, Tolstoy mengutuk perang itu dan menulis kepada pendeta Buddhis Jepang, Soyen Shaku dalam upayanya yang gagal untuk membuat pernyataan pasifis bersama.

Ternyata Tolstoy adalah anggota keluarga bangsawan Rusia yang sangat kaya. Ia belakangan percaya bahwa ia tidak berhak mendapatkan harta warisannya, dan terkenal di antara para petani karena kedermawanannya.

Ia sering kali kembali ke tanah miliknya dengan sejumlah gelandangan yang dirasakannya membutuhkan pertolongan. Ia pun sering kali memberikan sejumlah besar uang kepada para pengemis di jalan dalam perjalanannya ke kota, sehingga membuat istrinya marah.

Ia meninggal karena radang paru-paru di stasiun Astapovo pada 1910 setelah meninggalkan rumahnya di tengah musim dingin pada usia 82 tahun. Kematiannya terjadi hanya beberapa hari setelah ia mengumpulkan keberanian untuk meninggalkan keluarganya dan kekayaannya dan mengambil sikap hidup sebagai seorang pertapa keliling—suatu pilihan yang telah digumulinya selama beberapa puluh tahun. Ribuan petani berdiri di kedua tepi jalan pada saat ia dikebumikan.

Leo Tolstoy telah memperjuangkan nilai kemanusiaan yang sangat berharga baik di dunia masa kini—mengutamakan kasih kepada siapa pun dan melawan segala bentuk kekerasan oleh siapa pun!

(Baharuddin Silaen/dan sumber lain)

IKLAN

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.