
SuaraHKBP.com | Skandal paling memalukan menimpa Jason Blair, wartawan the Times. Ia terbukti menjiplak, membuat berita palsu dan bohong.
Berita palsu ini terungkap, ketika Jim Roberts, Redaktur Nasional the Time, pada 28 April 2003, menanyakan kepada Jayson Blair, soal kemiripan berita yang dia tulis dua hari sebelumnya dengan artikel tulisan wartawan San Antonio Express, Macarena Hernandez, terbit lebih dulu.
Hernandez pernah magang di the Times dan bekerja bersama Blair. Editor senior San Antonio Express juga menghubungi the Times, menanyakan kasus serupa. Setelah diselidiki, Blair ternyata menjiplak dan berbohong.
Bayangkan betapa malunya The New York Times yang memiliki sederet reputasi dengan usia 161 tahun dan meraih 108 Pulitzer, mendadak limbung dan terguncang berat gara-gara ulah Blair yang publikasikan berita bohong.
Ternyata Blair sebagai jurnalis melakukan kesalahan fatal. Sejumlah berita yang dipublikasikan, faktanya tidak akurat, mengarang narasumber dan menulis berita bohong.
Pihak The New York Times, terpaksa buru-buru menugaskan tim investigasi Times, sebanyak lima orang wartawan senior, untuk mencari tahu mengapa dan bagaimana berita Blair bisa lolos.
Tim kemudian meneliti kembali 73 berita yang pernah ditulis Blair antara Oktober 2002 hingga April 2003. Menelepon kembali narasumber yang pernah diwancarai Blair. Betapa kagetnya mereka, ada kurang lebih 10 berita yang ditulis Blair berdasarkan imajinatif. (Ignatius Haryanto: Jurnalisme Era Digital Tantangan Industri Media Aba 21)
Inilah berita imajinatif yang ditulis Brain, “Damai dan Jawabannya Termasuk Korban Serangan Penembak Jitu,” Blair mengaku berada di Washington. Ia diduga menjiplak kutipan dari cerita Washington Post dan membuat kutipan dari orang yang belum pernah ia wawancarai. (Berita 10 Februari 2003)
“Kerabat Tentara yang Hilang Takut Mendengar Berita Buruk”, Blair mengaku berada di Virginia Barat . Ia diduga menjiplak kutipan dari artikel Associated Press. Dia mengaku telah berbicara dengan ayah Jessica Lynch , yang tidak ingat bertemu Blair. (Berita 27 Maret 2003)
“Penyelamatan di Irak dan ‘Kehebohan Besar’ di Virginia Barat”, Blair mengklaim telah meliput kisah Lynch dari kota kelahirannya di Palestina, Virginia Barat. Blair tidak pernah melakukan perjalanan ke Palestina, dan seluruh kontribusinya untuk kisah tersebut terdiri dari perincian yang disusun ulang dari kisah-kisah Associated Press. (Berita 3 April 2003)
“Untuk Satu Pendeta, Perang Menang ke Rumah”, Blair menulis tentang kebaktian gereja di Cleveland dan sebuah wawancara dengan pendeta itu. Blair tidak pernah pergi ke Cleveland; dia berbicara kepada menteri melalui telepon, dan menyalin bagian-bagian artikel itu dari artikel Washington Post sebelumnya. Dia juga menjiplak kutipan dari The Plain Dealer dan New York Daily News . Dia mengarang detail tentang pendeta yang menyimpan foto putranya di dalam Alkitab dan salah menyebut nama gereja. (Berita 7 April 2003)
Sejak skandal Jayson Brain merebak, pemimpin dan redaktur surat kabar tidak ada ampun terhadap pemberitaan imajinatif, plagiat, bohong dengan mengada-ada narasumber. Sejak itu pulalah, wartawan yang tidak mencantumkan nama narasumber dengan jelas serta fakta berita yang tidak akurat: ditolak dimuat!
Memang sebelum kejadian itu, sering dijumpai dalam berita; “dari sumber yang dapat dipercaya,” “hasil wawancara dengan sumber yang tidak bersedia disebutkan namanya,” “sumber Koran A,” “sumber yang berkompoten.”
Pola penulisan berita seperti ini sudah tidak layak dan tidak berlaku lagi. Biasanya, editor yang berpengalaman, insting jurnalistiknya mengatakan, “ada sesuatu yang tidak beres,” ketika melihat bahan berita seperti ini.
Lantas, agar berita dapat dipercaya, cermatlah menulis dengan memegang teguh tatakrama dan etika penulisan berdasarakan Formula 5W+1H dan Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia. bas
Be the first to comment