Cerpen: Sandal Jepit Warna Biru

Cerpen: Sandal Jepit Warna Biru

SuaraHKBP.com | Sudah setengah jam Pak Tua mondar-mandir dari depan ke belakang, teras, garasi, pekarangan, lanjut ke kolam dekat taman belakang rumah, mencari sandal jepit warna biru kesayangannya.

Entah sudah berapa kali bolak-balik ke teras dan ke gudang mengharap ketemu sandalnya. Bahkan semua sudut rumah disisirnya dengan teliti satu per satu. Sudah seperti mencari jarum di tumpukan jerami.

Lalu diambil sapu kemudian mendorongkannya ke bawah kolong lemari, sambil jongkok. Siapa tau sandal jepitnya nyasar ke kolong. Sayang usahnya tak membuahkan hasil. Sandal yang dicarinya tak kunjung ketemu. Kesal, ya!

“Mah, sandal jepit warna biru ke mana ya. Mamah ada lihat?” tanya Pak Tua sama istrinya yang sedang nonton televisi di ruang tamu yang mulai dari tadi tidak peduli dengan aksi suaminya sedang gencar berburu sandal jepit.

“Bapak sudah cari di tempat biasa?” jawab istrinya masih tetap menghadap ke layar televisi berukuran besar.

Baca Juga: CERPEN: WANITA ITU 85 TAHUN

“Malah sudah semua sudut dicari. Depan, belakang, gudang, taman, pekarangan, teras, garasi, tidak ketemu sandalnya,” balas Pak Tua jengkel.

“Jangan-jangan si bibi pembantu yang dulu kerja sama kita mengambilnya. Ia kan suka ambil-ambil apa saja dari rumah. Gula, beras, telor, kopi, minyak goreng. Makanya gula, beras kita cepat habis,” ujar istrinya dengan mimik yang meyakinkan seraya menghadap Pak Tua yang berdiri di sampingnya.

“Apa ya, si bibi yang curi sandal jepit? Tak mungkin. Tapi siapa tau benar dia yang ambil,” guman Pak Tua menerka-nerka sendiri.

Hari itu ketika Pak Tua pulang dari pasar membeli koran, ia memilih lewat gang yang kadang kala anak-anak main bola di depan rumah mereka. Setelah gang terakhir belok ke sebelah kiri adalah rumah si bibi pembantu yang dulu pernah kerja di rumah Pak Tua. Sesampainya di tempat itu, Pak Tua langsung teringat ucapan istrinya. “Jangan-jangan si bibi yang dulu kerja sama kita yang ambil.”

Pelan-pelan ia melangkah sambil melirik ke emper rumah si bibi. “Oh, ternyata benar rupanya si bibi yang curi sandal jepit saya,” tukasnya dalam hati. Sandal warna biru itu ditaruh di emper rumah yang sempit. Di samping emper ada beberapa pot bunga yang kurang terurus. Pintu pagar rumah terbuat dari bambu, sebagian sudah lapuk. Secepat kilat, sandal itu diambilnya. Langkahnya tergopoh-gopoh sambil sesekali melihat ke belakang.

Baca Juga: PUISI: MULAK TU HUTA

Riang gembira Pak Tua bercerita kepada istrinya tentang kisah ditemukannya sandal jepit warna biru itu. “Benarkan, pirasatku tak pernah melenceng. Pasti si bibi itu yang curi,” ujar istri Pak Tua ikut larut dalam suasana riang gembira merayakan ditemukannya sandal jepit warna biru kesayangan Pak Tua.

“Bangun pak. Bangun. Bapak mimpi apa?” teriak istri Pak Tua sambil menggoyang-goyang badan suaminya.

“Aku mimpi leherku dililit ular lagi. Ular yang sama. Sampai tidak bisa bernapas,” Pak Tua menceritakan mimpinya seperti orang kehabisan napas. Ini mimpi ketiga pascaditemukan sandal jepit kesayangan Pak Tua.

“Bagaimana mimpinya sampai teriak-teriak seperti minta tolong,” tanya istri Pak Tua sambil mengusap-usap bahu suaminya yang masih tampak kebingungan.

“Mulanya dari sandal jepit warna biru itu menjelma jadi ular. Ular menjalar dari ventilasi angin masuk ke kamar dan turun ke kasur dan langsung melilit leherku. Semakin lama lilitannya semakin kencang, dan sesak tak bisa bernapas. Lalu teriak minta tolong. Sangat menyeramkan. Kejadian ini sudah mimpi ketiga kali. Ular itu menjalar dari sandal jepit warna biru itu,” Pak Tua menjelaskan mimpi buruk yang dialaminya kepada istrinya.

Baca Juga: PUISI : HAMINJON DI HUTA

“Begini sajalah pak, kembalikanlah sandal jepit itu ke rumah si bibi. Kita tidak tau, mana tau di sandal jepit itu dibikin guna-guna. Kembalikanlah itu besok ya pak,” ucap istrinya dengan suara datar. Mereka sepakat sandal jepit warna biru dikembalikan.

Pak Tua keluar rumah membawa kresek beri sandal jepit untuk dikembalikan ke rumah si bibi. Sebelum membuka gerbang dia mengambil jas hujan dari garasi dan memakainya sambil menutup kepalanya dengan topi jas hujan. Soalnya sejak sore turun hujan, tapi sekitar pukul 23.00 malam tinggal hanya gerimis.

Dari kejauhan sosok Pak Tua tampak di mulut gang diterpa cahaya lampu dari rumah tetangga seperti orang patroli kampung. Degup jantungnya makin kencang dan tak teratur saat mendekat ke rumah si bibi. Ia mengendap-endap seperti kucing memperdaya mangsa. Rupanya dari kejauhan ada tetangga yang melihat ada orang yang mengenda-endap. Tiba-tiba, ia berteriak.

“Maling, maling, maling.” Sekejab orang berhamburan menuju ke arah datangnya suara. Sepanjang gang mendadak mejadi kerumunan massa lengkap dengan berbagai benda di tangan masing-masing.

“Tangkap, jangan lepaskan.” Massa mulai mengamuk dan memukuli Pak Tua. Pak Tua tersungkur ke pagar dan pipinya sobek. Berdarah.

“Ampun, ampun. Aku bukan maling,” kata Pak Tua, sambil membuka penutup kepalanya. Tolong jangan saya dipukuli,” teriak Pak Tua berkali-kali, sambil kedua tangannya dilipatnya di dada seperti orang menyembah.

“Mohon jangan dipukuli. Mohon berhenti memukul bapak ini. Bapak ini bukan maling. Bapak ini, orang kompleks. Panggilannya Pak Tua yang rumahnya besar dan bertingkat,” kata Pak RT menyenangkan amukan massa.

Satu per satu massa mendekat. Ingin melihat dari dekat untuk memastikan siapa orang yang diteriaki maling. Ada beberapa yang mengenal dengan Pak Tua.

Kemudian Pak RT mengantar Pak Tua ke kompleks setelah dibawa berobat ke klinik di seberang perumahan. Rupanya istri Pak Tua, sudah lama menunggu di teras rumah. Hatinya gelisah. Suaminya belum pulang.

Bell berbunyi. Pintu gerbang tidak dikuci. Rupanya, Cecep anak bontot Pak Tua yang datang.

Cecep langsung ke ruang makan dan menuju meja makan. Ayahnya sama ibunya baru saja selesai makan. Mereka berdua belum berajak dari meja makan. Cecep menyalami ayahnya dan ibunya.

“Kenapa wajah ayah? Ada bekas sobekan? tanya Cecep ingin tahu.

“Tidak apa-apa. Ayahmu hanya terpeleset kog,” balas ibunya menyenyangkan hati Cecep.

“Maaf ayah, Cecep tidak bawa apa-apa. Tadi langsung dari kantor ke sini.”

“Apa itu yang di dalam kresek? tanya ayahnya

“Oh ya, sandal jepit ayah,” sahut Cecep sambil mengeluarkan dari dalam kresek. Maaf ayah, sebulan lalu waktu Cecep datang ke sini, pulangnya pakai sandal jepit ayah warna biru. Karena buru-buru takut hujan, Cecep tidak kasi tahu sama ayah.

Suasana ruang makan tiba-tiba hening dan membisu. Semua diam. Senyap tak ada suara. Cecep ikut larut dalam keheningan. “Ada apa ini? Apa sebenarnya yang terjadi sama ayah?”bisik Cecep dalam hatinya.

Cecep merapatkan kursinya agar lebih dekat dengan ayahnya. Tidak pernah seperti itu sambutannya sama Cecep si bontot anak kesayangannya itu. Ia kembali menatap wajah ayahnya. Air matanya mulai mentes dan semakin deras. Ayahnya menangis dan memeluk anaknya Cecep. Tapi Cecep masih bingung mengapa ayahnya menangis seperti itu.

“Maafkan kami anakku. Ayahmu dan ibumu menumpuk bara di atas kepala kalian anak-anakku. Menimbun aib di pundak kalian. Ayahmu kaya tapi hati dan pkirannya busuk. Tidak punya kasih sayang terhadap sesama. Berprasangka buruk terhadap orang lain. Tidak mau memaafkan. Mau benar sendiri.

“Kelak kau anakku akan tau apa yang terjadi di balik: “sandal jepit warna biru itu!”

Baharuddin Silaen

Cipondoh, Tangerang, 15 April 2020

Stay at Home

IKLAN

1 Comment

  1. Konten Suara HKBP sudah bagus lebih adaftif terhadap perkembangan sosial. Kisah2 bernuansa humaniora pasti selalu menarik.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.