Pola Pikir Stereotipe

Baharuddin Silaen

SUARAHKBP.COM, JAKARTA – Tiga penulis handal; Larry A Samovar (San Diego State University) Richard E Porter (California State University, Long Beach) dan Nemi C Jain (Arizona State Unuversity) bersama-sama menuangkan hasil penelitian mereka dalam buku: “Understanding Intercultural Communication.”  Salah satu topik yang mereka ulas dalam buku itu, adalah stereotypes yang merujuk ke dalam komunikasi antarbudaya

Disebutkan, “stereotypes are overgenaralized, oversimplified, or exaggerated beliefs associated with a category of group people.” Menyamaratakan, menggampangkan, melebih-lebihkan keyakinan golongan masyarakat tertentu.

Sebenarnya, orang yang rajin; menggampangkan, menyamaratakan dan melebih-lebihkan sesuatu, adalah sifat buruk individu yang tak berani mengakui kenyataan. Ini termasuk  tipe manusia malas berpikir. Kendatipun berpikir, cenderung di luar logika serta memahami orang lain berdasarkan pikiran sendiri, budaya, ideologi, ras dan agama yang dianut.

Bahayanya, ketika itu benar-benar terjadi—akan mengundang gaduh dan memperpanjang barisan yang memaksakan kehendak—karena ada golongan mengaggap lebih benar dari kelompok lain. Bahkan merasa lebih superior.  Bukan itu saja, untuk mengelabui agar tampak tampil keren, fakta pun kemudian direkayasa—seolah-olah kelompoknya paling peduli, bersih dan berpihak kepada rakyat. Sayang,  mandeg  tak dapat melaju ke sasaran, soalnya isu yang disampaikan tanpa dibarengi kajian yang layak. Contohnya; pernyataan Amien Rais tentang:  “partai Allah dan partai setan.”

Jangan silap, pola pikir stereotip adakalanya bisa diandalkan untuk  mendulang simpati. Apalagi pernyataan itu (message) dilontarkan tokoh sentral dan dikenal komunitasnya. Jangan pula heran, isu yang digelontorkan bisa mendongkrak jumlah yang pro dan ingin bersama-sama menjadi bagian dari kelompok (in-group)

Tapi harus juga diingat, rupanya stereotip hanya bisa berhasil—ketika kondisi kecerdasan masyarakat masih di bawah rata-rata.  Soalnya, tingkat kecerdasan  mempengaruhi daya nalar terhadap isu yang diterima—makin rendah tingkat kecerdasan makin gampang dipengaruhi dengan berita palsu yang tak jelas.  Soalnya, mereka tak ambil pusing dengan berpikir logis, apalagi menganalisisnya, itu bukan persoalan penting.  Pada kondisi masyarakat seperti ini—pola pikir stereotip diyakini berhasil dan menguntungkan kelompok tertentu.

Sebaliknya, apabila tingkat kecerdasan masyarakat di atas rata-rata—pola pikir stereotif tidak mempan digunakan alat kampanye untuk  mempengaruhi masyarakat. Ingat, masyarakat yang cerdas tak gampang dipengaruhi dengan setumpuk isu yang faktanya tidak akurat  dan dijamin keabsahannya alias bodong. Asal tau saja, jangan coba-coba diiming-imingi janji palsu dan kabar bohong—tidak bakal dilirik. Malah sebaliknya, tidak akan dipercaya seumur-umur. Pembohong dan provokator tulen!

Soalnya,  masyarakat yang tingkat kecerdasannya  tinggi—tidak serta merta menelan bulat-bulat isu yang diterima, tapi berupaya mencari bukti  dan menganilisis kebenaran isu tersbut. Apabila faktanya  ternyata asal-asalan tak jelas juntrungannya—segera akan ditolak dan dianggap hoax.  Pada saat itulah, stereotif jelas gagal.

Selain fakta faktual yang diusung dalam kampanye, bahkan tak boleh dianggap remeh, karena ini sangat menentukan berhasil tidaknya pesan diterima, yakni; perilaku dan kepribadian elite politik. Sebutlah Fritz Heider, penemu “teori atribusi” dalam buku: “Theories of Human Communication,” karya Stephen W Littlejohn & Karen A Foss, mencatat,  perilaku kita sangat menentukan berhasil tidaknya ide atau gagasan yang kita sampaikan kepada khalayak (komunikan)

Pernyataan ini,  hendak menjelaskan,  seandainya perilaku seseorang  pernah berada di lorong  gelap atau remang-remang—begitu juga tindak tanduk tak keruan—keluarga berantakan—bagaimanapun cemerlangnya gagasan yang disampaikan, akan terbentur dan susah meyakinkan orang untuk mempercayainya.  Soalnya,  ada manipulasi perilaku pada masa lalu.  Inilah yang disebut;  feedback atau umpan balik yang sangat merugikan diri sendiri! Bumerang.

Apa yang diungkap Fritz Heider, dalam kajian ilmu komuniasi,  ditemukan juga dalam  pola pikir stereotipe. Misalnya, dalam stereotip pun ternyata sarat manipulasi,  sumbernya pun tidak sahid—maklum  pada mulanya adalah khayalan—imajinasi, fiktif atau cerita turun temurun atau katanya. Bayangkan betapa seramnya—jika pola pikir seperti ini yang diterapkan menjadi  acuan menilai orang lain, kelompok, budaya, bangsa, hingga agama. Ngeri kali!

Namun pada kondisi tertentu, stereotipe sengaja dimanfaatkan untuk tindakan diskriminatif terhadap kelompok lain. Tujuannya, mengucilkan kelompok lain dan menolak kelompok yang berbeda dengan mereka. Lucunya, banyak tersanjung dan terperdaya dengan isu yang dikemas dengan ujaran kebencian dan SARA untuk menghardik  kelompok yang tak satu aliran supaya tidak berkutik.

Perlu diwaspadai, jangan sampai stereotipe marak di tengah masyarakat—bisa-bisa menjadi ancaman bagi masyarakat majemuk. Gesekannya jangan sampai menimbulkan gangguan saat mempertahankan kesatuan dalam berbagai perbedaan yang diharapkan  penyejuk suasana hidup rukun dan damai meskipun berbeda dalam pelbagai hal.

Bagi elite politik—agar berada di zona aman—tidak gaduh—kampanyelah dengan cara kerja politik modern yang elegan. Supaya lebih bermutu,  berlomba adu argumentasi yang edukatif, sehingga rakyat dididik memahami program calon pemimpinnya. Bukan membual dengan pepesan kosong. Apalagi mengada-ada dan mencari-cari kelemahan pihak lawan. Memutar balikkan kebenaran, misalnya.

Sebaikya hindari simbol primordial ataupun ikatan emosional historis. Berkompetisilah dengan terhormat melalui program-program andalan masing-masing partai. Elit politik zaman now, tidak saatnya lagi jorjoran;  menjelekkan, memitnah dan menganggap dirinya paling bersih.

Berkompetesilah dengan terhomat—percayalah—masyarakat akan mempertimbangkan pilihannya. Selain itu, pada sisi lain, para elite politik telah menyebarkan pendidikan politik yang santun, tertib, tentram dan damai pada masyarakat Indonesia.

(Baharuddin Silaen, mengajar di Fisipol-Ikom UKI Jakarta)

 

IKLAN

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.