
SUARAHKBP.COM, JAKARTA – Asal bunyi alias asbun. Asbun—contoh kritik tanpa fakta serta tidak disertai data yang akurat. Anehnya, yang bicara ngerocos dan berupaya tampil percaya diri.
Padahal, apa yang dilontarkan adalah sejenis hoax alias sampah—yang penting ikut nimbrung dan tampak garang berdebat kendati tak punya sumber yang jelas.
Asal tahu saja, model asbun semacam inilah awal pemicu fitnah. Biasanya orang yang asal bunyi atau asal ngomong—diduga—ada yang tak beres pada proses nalar logika. Atau, konsep pola pikir dihinggapi hal yang negatif, sehingga memandang orang lain selalu salah dan tak becus.
Mau tahu cirinya? Berlagak tahu dan sok pintar. Bahkan, supaya tampak keren, kritikannya dibumbui data sepihak tapi malah jauh melenceng dari topik yang dibahas. Pukul rata semua persoalan serta menggampangkan masalah. Pada gilirannya pasti—aroma kebencian dan kebusukan akan menguap dan tak bisa dihempang.
Rupanya, Larry A Samovar, Richard E Porter dan Nemi C. Jain, sudah pernah menganalis tipe manusia yang asal bunyi, yang tertuang dalam karya mereka: “Undesrtanding Intercultural Communiaction.” Mereka menyebut orang yang asal bunyi mirip; stereotyping (streotipe).
Inilah daftar indikasi manusia streotipe; malas berpikir, wawasan sempit, memaksakan pikiran, menganggap budayanya paling bagus, suka menyamaratakan (overgeneralize)
Kemudian, bandingkalah ocehan Amien Rais ini, betapa gampangnya mengatasnamakan rakyat dan Presiden Jokowi pun disebutkan; setara lurah. Provokatif, tendensius, menuduh dan merendahkan!
“Ahli IT ITB dibacok, berdarah-darah. Semakin anarkis. Rakyat bisa marah kepada pemerintah. Jangan anggap enteng. Pak Harto yang jauh lebih kuat dari Jokowi saja, ketika rakyat marah, sudah selesai. Ini Bung Jokowi jauh lebih lemah dibandingkan Pak Harto, Bung Karno dan lainnya. Pak Jokowi jangan main api, dia itu Lurah Indonesia,” tukas Amien, dalam sebuah wawancara dengan TVMu, belum lama ini.
Sialnya, kritikan Amien ini, malah menjadi murahan. Lebih pas disebutkan; gunjingan atau hasutan yang cenderung merendahkan martabat pemerintah tanpa tawaran solusi yang jelas.
Kritik semacam ini, bukan lagi untuk kebaikan—tapi berubah bentuk menjadi alat reduksi terhadap hal positif. Penggiringan opini yang disengaja untuk menghasut orang lain agar membenci pemerintah.
Kritik dilontarkan sebagai amunisi menjungkirbalikkan lawan politik tanpa peduli prestasi yang diraih. Jelas, makna kritik menjadi bias. Asal bunyi—asbun. Kritik sontoloyo sarat fitnah.
Simaklah pandangan; Plato, Aristoteles dan Freud—terkait konsep berpikir yang benar. Mereka sepakat; ternyata proses logika yang tidak benar akan menghasilkan pengetahuan yang tidak benar.
Pasalnya, apa yang diucapkan (dikritik) boleh jadi produk ketidaksadaran yang menyembunyikan realistas yang sebenarnya. Tabiat curang menyembunyikan kebenaran seperti ini pun, nyaris menghias berbagai media apalagi di media sosial.
Sudah sumbernya tak jelas—asal comot—lalu rame-rame mengomentari miring. Serunya, komentar sengaja dialihkan supaya orang lain terpancing berujar kebencian serta memitnah pihak lain di luar kelompoknya.
Lalu, giliran media pun ikut sibuk, menyiarkan berulang-ulang, apalagi jika pemilik media itu punya “selera” yang sama—langsung diolah menjadi santapan lezat.
Berdasarkan perspektif kritikal media, sebenarnya telah dimaklumi—pemilik media turut menggoreng isu yang sedang heboh untuk kepentingan pihak tertentu. Tak percaya? Perhatikanlah apa yang dominan diungkap media bersangkutan, saksikan narasumbernya, fakta (audio-visual) yang ditayangkan, komentar yang disampaikan.
Pasti Anda tidak salah—ternyata pemilik media tersebut sekongkol menggerayangi data demi kepentingan kelompoknya di luar sana.
Sebenarnya, berdasarkan kajian media berkaitan dengan ekonomi-politik media; sudah lama diketahui, kekuasaan struktur pemilik media sangat besar jasanya mengendalikan media—untuk meraup laba. Termasuk sejumlah mafia tersembunyi yang ada di lingkungan pemilik media turut ambil bagian.
Lucunya, ketika pendapatnya dibantah, tergesa-gesa berdalih sambil teriak; mengapa dihambat mengeritik pemerinah di negara demokrasi? Kritik adalah bagian dari hidup berdemokrasi? Apakah pemerintah tidak boleh dikritik?
Fitnah lagi! Soalnya, tidak ada yang melarang mengeritik pemerintah. Persoalannya benarkah mengeritik atau hanya fitnah yang dipoles kebencian?
Apalagi opini yang dilontarkan, tak lebih dari hasutan dan gosip yang asal-usulnya diragukan. Malah, keburukan digembor-gemborkan dan kebaikan diplintir—padahal memberi hormat atas prestasi seseorang (pemerintah) juga merupakan kritik, setidaknya agar kebaikan itu lebih ditingkatkan.
Asal tahu saja; mencibir, menggunjing dan kritik—sangat berbeda—malah bukan sinonim tapi antonim. Mencibir sama dengan mengejek, mencemooh, dan menistakan. Harap diingat, komentar atau pendapat yang tidak didasari fakta bukanlah kritik—melainkan fitnah yang dapat dijerat dengan pasal pencemaran.
Sebab itu, politisi dan siapa pun—sebaiknya harus lebih hati-hati merespon persolan yang mencuat—sehingga mutunya berkualitas dan menyejukkan. Sikap paling benar sendiri dan cara-cara kotor, untuk meraih kekuasaan sebaiknya dihindari.
Sebab, strategi taktik licik dan busuk hanya akan merugikan semua pihak karena dibungkus fakta palsu dan kebohongan. Ketahuilah; cepat atau lambat akan terbongkar.
Benar sekali, demokrasi menjunjung keterbukaan dan kebebasan serta tidak alergi terhadap kritikan. Termasuk beda pendapat pun dihargai—tapi pendapat bermuatan fitnah tidak dilindungi. Paling pas sebenarnya—berperilaku bijak serta arif dan hindari hal yang mengandung fitnah saat mengeritik.
Sampaikanlah kritik berdasarkan fakta akurat sehingga suasana demokrasi benar-benar menyejukkan. Jangan lupa, konsitusi hanya menjamin kritik, bukan fitnah!
Setuju, demokrasi menampung kritik dan berbagai bentuk ketidakpuasan lainnya sebagai instrumen penopang keterbukaan. Demokrasi menjamin semua pihak dapat menyampaikan pendapatnya, bahkan kritik dihargai dan dihormati.
Ingat, penghormatan terhadap kritik—salah satu indikasi adanya kepedulian—kepekaan dan partisipasi pemerintah mengawal arus demokrasi. Jangan lupa, sistem demokrasi juga memayungi kritik sebagai bentuk interaksi dan kerangka bergaul di antara sesama pelaku politik (politisi) karena itu; kritik tidak bisa dilarang!
Tapi, kritik asal bunyi—sebaiknya jangan dibiasakan. Selain memalukan diri sendiri, ketahuan bodohnya!
(Penulis mengajar di Fisipol UKI Jakarta)
Menarik tulisan ini karena saat ini memang sedang maraknya berita asal bunyi ini, tapi yang lebih berat lagi mereka bukan asal bunyi tetapi memang merencanakan “harus membunyikan” demikian dengan tujuan memukul lawan. Ilmu ini sangat bermanfaat saat saat pemilihan dan terjadi dimana saja baik di Lembaga Politik bahkan di lembaga Rohani dan dilakukan oleh orang dewasa. Oleh karena itu tulisan ini bisa menjadi kehati-hatian bagi kita untuk menulis sesuatu yang bukan asal bunyi atau sengaja membunyikan sesuatu untuk tujuan mendiskreditkan orang lain.