
JAKARTA, (SUARAHKBP.COM) Dalam Pilkada DKI Jakarta tensi politik memang terkesan menaik. Untuk pilkada putaran kedua yang bakal berlangsung pada 19 April 2017, tersisa dua pasangan calon (paslon) yaitu Ahok/Djarot dan Anies/Sandi.
Dalam iklim demokrasi, berbagai upaya memenangkan pilkada seperti misalnya melalui kampanye dilakukan.
“Bahaya yang mengancam kemajemukan adalah dipergunakannya secara royal dan murahan isu SARA guna mematahkan lawan,” kata Senior Fellow Institute Leimena, Pdt Andreas A Yewangoe dalam seminar kebangsaan bertajuk; “Merawat Kemajemukan Dalam Bingkai NKRI” yang diselenggarakan Unit Pelayanan Kerohanian dan Konseling Universitas Kristen Indonesia di di Auditorium Grha William Soeryadjaya UKI, Jakarta, Rabu (5/4)
Yewangoe mencontohkan adanya spanduk yang berisikan penolakan untuk disalatkan bagi yang meninggal apabila memilih paslon tertentu. Atau makin meningkatnya pemakaian istilah kafir terhadap mereka yang dianggap berbeda.
Ada kesan seolah-olah program paslon yang satu tidak dijawab dengan mengemukakan program alternatif, tetapi dengan mengemukakan SARA.
“Tentu saja ini tidak fair dan memperlihatkan ketidakdewasaan dalam berdemokrasi,” tegasnya.
Beberapa waktu lalu, Satpol PP telah menurunkan sekian banyak spanduk yang bernuansa SARA yang merupakan suatu tindakan yang baik.
Tetapi berbagai ucapan dan ujaran pun yang terkesan menimbulkan persoala SARA harus dicegah.
“Jangan hanya karena pilkada, masyarakat Jakarta terpecah-belah. Akibatnya bisa fatal, tidak hanya bagi Jakarta tetapi untuk seluruh Indonesia,” ujar AA Yewangoe.
Disebutkan, setiap warga menginginkan masyarakat majemuk ini diperlihara, dirawat dan dijaga dengan baik.
Karenanya, dialektika (interplay) antara kemajemukan (bhinneka) dan kesatuan (tunggal) harus nampak dalam setiap kinerja, aturan-aturan dan perundang-undangan.
Demikian halnya, civil society (masyarakat berkeadaban) harus terus-menerus diperkuat dan diperkembangkan. Tanpa civil society yang kuat, rasanya sulit kita melangkah maju.
Hal memperkuat civil society itu, harus dimulai dari lembaga pendidikan pada segala aras (PAUD, TK, SD, SMU dan universitas).
Bahkan, menurut Yewangoe, harus dimulai dari dalam rumah tangga, yaitu menanamkan kepada sang anak bahwa tetangga yang berbeda itu bukanlah musuh.
Secara positif ditanamkan pengertian bahwa hidup dalam dunia yang di dalamnya masyarakatnya majemuk tidak perlu ditakuti, sebaliknya kita bersyukur sebab dengan demikian kita diperkaya dengan berbagai cara hidup dan cara tindak.
Negara Mesti Hadir
Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan/HAK Konferensi Wali Gereja Indonesia, Romo Antonius Benny Susetyo Pr, mengkritisi peran negara yang acapkali tidak hadir ketika terjadi kasus intoleransi di Indonesia.
Semestinya negara hadir mengatakan berani untuk menghadapi (kaum intoleran-Red). Itu berarti konstitusi dijalankan. Problem kita, konstitusi dikalahkan oleh tekanan massa.
“Jadi, bagaimana kita membangun suatu negara dan bangsa ini kalau terus-menerus seperti ini dimana konstitusi tidak konsisten dijalankan,” tegasnya.
Romo Benny juga membeberkan persoalan lainnya terkait keberagaman di Indonesia yakni masih adanya sindrom mayoritas dan minoritas.
Sebab itu, tidak aneh jika kemudian kita selalu mengalah ketika persoalan konstitusi dikalahkan.
Ingat, persoalan ini bukan mayoritas dan minoritas tapi persoalan konstitusi dalam berbangsa dan bernegara.
“Karena itu, setiap warga negara punya kewajiban untuk menjaga konstitusi itu,” tambahnya.
Lemahnya orang-orang yang mengalami intoleransi di mana mereka selalu tidak berani ketika menghadapi tekanan massa dari kelompok-kelompok kecil yang mana di semua agama ada.
Kita harus sadari bahwa negara ini berdasarkan konstitusi bukan berdasarkan agama.
“Karena itu, konstitusi harus dikedepankan. Maka perspektif kita melihat persoalan selalu berdasarkan konsititusi,” tegasnya.
Kran intoleransi akan meningkat kalau negara tidak hadir. Karena itu, kekuatan masyarakat sipil harus mendorong agar negara selalu hadir. Negara harus berani melakukan tindakan-tindakan terhadap mereka yang melanggar hukum.
Kalau tindakan intoleransi dibiarkan maka kemajemukan dan keberagaman akan hancur.
Maka potensi perpecahan akan terjadi. Persoalan besar lainnya adalah terjadinya ideoligisasi politik identitas dan politik agama yang selalu memanipulasi kebenaran.
“Bahayanya ketika kita tidak membangun budaya kritis, maka kita akan masuk dalam suatu proses yaitu dehumanisasi,” kata Romo Benny.
(VIC)
Be the first to comment