
Pandangan John Stuart Mill, filsuf kelahiran Pentonville, London (1806) tentang fungsi agama kaitannya dengan simpati dan cita rasa—menarik direnungkan kembali. Ia menyebutkan, agama memperluas simpati, memberi arah atau jalan ke luar, memperkaya ide dan konsep baru. Selain itu, agama memberi ketenangan dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia—mengingat hidup manusia senantiasa dililit penderitaan dan dihimpit petaka. Itu sebabnya, umat manusia perlu ketenangan dan kenyamanan ketika ia melakukan aktivitasnya!
Tak sampai di situ, gagasan Mill ini pun, rupanya menjadi sumbangan yang berharga di bidang filsafat moral di kemudian hari. Bahkan sebenarnya, tidak sebatas filsafat moral, tapi jauh mewarnai dimensi keagamaan yang disebut: religion of humanity (agama kemanusiaan) Pokoknya, semua yang bersentuhan langsung pada realita kehidupan umat manusia—artinya bukan agama awang-awang atau agama langit yang mengambang tak jelas juntrungannya.
Itulah salah satu dasar keberadaan agama untuk mewujudkan kebahagiaan dan kedamaian. Ingat, agama bukan mempersulit bahkan mempermudah kehidupan. Bukan pula memperlebar jurang pemisah pergaulan dan persahabatan. Harap dimaklumi juga, agama bukan paksaan dan sebaiknya jangan dipaksakan. Bukan pula atas selera yang bisa dipesan untuk memuaskan selera masing-masing pemesan. Tapi, jangan lupa, agama adalah bentuk lain dari keyakinan pribadi mengenai apa yang diyakininya. Hak kebebasan memilih agamanya dijamin bagi tiap individu.
Lalu apa bedanya, agama kemanusian dengan agama text book. Agama text book—cenderung kaku dan mati seperti benda jatuh dari langit. Bermuatan instruksi dari kepada manusia atau dari orang dewasa kepada anak kecil yang harus diaminkan meskipun tak dipahami isinya.
Padahal, setiap individu ciptaan Tuhan punya kesempatan yang sama mengolah potensi pada dirinya dengan kekuatan sipritual yang berlandaskan keyakinan yang dimilikinya. Tidak serta merta tergantung kepada apa yang didiktekan gurunya yang bersifat mutlak dan tak boleh dibantah?
Lebih jauh lagi, agama text book cenderung tak berani ke luar dari teks yang tertulis—tapi menerima mutlak tanpa pernah memperhatikan dan mempertimbangkan dengan seksama kondisi kehidupan manusia yang ada di sekitarnya.
Penganut agama text book—lebih gemar menjalin hubungan mesra dengan Tuhan—tapi tak ambil pusing terhadap manusia di sekelilingnya. Ia hanya memprioritaskan ajaran agama secara text book, tegak lurus menjulang ke langit—hanpa tak berkutik di antara makhluk hidup yang ada.
Simaklah yang tertuang dalam 1 Yohanes 4: 20; “Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barang siapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihat, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.”
Idealnya dan sepantasnya, semua orang yang mengaku beragama haruslah mendahulukan cita rasa dan simpati serta empati kepada orang lain meskipun beda agama. Selain berani mebuka diri, harus juga berani mempertanyakan yang kurang dipahami atau mungkin lari dari landasan yang sebenarnya. Tidak hanya dengan senang hati menerima apa yang diajarkan dari atas (text book) Adakalanya perlu tanggap dan kritis terhadap ajaran apalagi hal-hal yang membakar kebencian, intoleran, permusuhan dan gampang menghakimi orang lain seperti menyebutkan kafir kepada pemuluk agama lain.
Soalnya, tidaklah pantas orang beragama gemar menghina, memfitnah, menghakimi dan melecehkan pemeluk agama yang lain. Karena agama itu sendiri pada hakekatnya menghadirkan kesejukan dan kedamaian terhadap orang lain kendati berbeda. Seperti sering diungkapkan, agama apa pun selalu membawa damai dan ketentraman dan ketenangan, bukan saja kepada pemeluk agama tertentu namun terhadap yang lain yang ada di kolong matahari ini.
Betul sekali, agama apa pun baik adanya bagi penganutnya. Tidak ada agama paling bagus atau paling jelek. Ingat, Tuhan tidak pernah menciptakan agama. Manusialah menciptakan agama dengan tujuan agar manusia hidup tenang, teratur, tertib, damai dan rukun meskipun berbeda. Tuhan tidak juga milik satu agama. Tuhan tidak berada hanya pada satu agama tertentu. Juga tidak pernah berpihak kepada satu agama dan lalu menyingkirkan agama lain.
Harap maklum, Tuhan adalah Tuhan di atas segalanya dan melampui segalanya (transcendent) Tapi sekaligus Tuhan yang imanen; ada di mana-mana. Pernah dipopulerkan Pythagoras, Plato dan kemudian Immanuel Kant; transcendent imanen. Tuhan melampaui segalanya, di atas segalanya tapi ada di mana-mana.
Begitu juga kaum monoteis (Yahudi, Kristen dan Islam) punya Tuhan yang satu yang dipahami sebagai Mahakuasa (omnipotent) Disebutkan juga, pengetahuan Tuhan adalah absolut—memiliki sifat: omniscience. Tuhan tahu segala hal pada saat sekarang, segala hal yang ada di masa lalau dan segala hal yang ada di masa mendatang. Tuhan tidak akan pernah berubah karena memang sudah sempurna.
Makanya, Tuhan tidak akan pernah bisa dipengaruhi oleh agama tertentu apalagi untuk merestui perbuatan jahat terhadap umat penganut agama yang berbeda. Mengingat posisi dan keberadaan Tuhan itu terlalu jauh dan tak terjangkau pikiran manusia. Karena memang teramat sulit bagi manusia menembus keberadaan dan pengetahuan Tuhan yang melampui segalanya dan di atas segalanya itu.
Perlu dicamkan, semua agama akan menjadi baik karena sikap serta perilaku umatnya. Sebaliknya, suatu agama akan “dicurigai” apabila dari jantung agama itu sendiri sering menjadi sumber permusuhan, intoleran, fitnah dan kebencian. Jika itu yang terjadi, sebenarnya agama telah digeser jauh atas selera berdasarkan pesan sponsor yang berupaya masuk ke dalam bilik penguasa lalu menggerayangi semua isinya—kemudian dipermak berdasarkan keinginan kelompoknya. Seperti inilah contoh model agama text book!
Pada kondisi seperti ini, agama telah berubah menjadi topeng formalitas dan condong kepada hal politis. Tak heran, mendadak wajah agama pun berubah menjadi garang, bengis dan menakutkan. Tidak bersahabat!
Jangan pula lupa, agama bukan alat untuk menakut-nakuti. Apalagi hanya untuk menumpahkan dendam dan kebencian kepada orang yang berbeda agamanya. Sadar atau tidak sadar—sebanarnya pemeluk agama model semacam ini—telah bersikeras memaksa Tuhan agar tunduk dan mengabulkan doa yang jauh dari cinta dan kasih.
Bukan itu saja, tapi memaksa Tuhan bertindak sebagaimana yang mereka inginkan. Seolah-olah Tuhan adalah hanya milik mereka dan agama mereka adalah agamanya Tuhan.
Lucunya, paham ini acap dikaburkan atau disengaja diplintir, bahwa Tuhan punya agama tertentu. Seolah-olah Tuhan hanya Tuhan agama tertentu.
Aneh memang—manusia yang mengaku beragama—sebenarnya hanya sebatas pemuja agama, bukan penyembah Tuhan. Beragama belum tentu penyembah Tuhan yang Mahabaik dan Mahabenar.
Ia hanya memuja agama, tapi Tuhan dijadikan alat bahkan dipaksa untuk melakukan niat dan hasrat yang bertentangan dengan sifat Tuhan; Mahabaik, Mahakasih, Mahaadil, Mahabesar dan Mahakuasa—panjang sabar dan tidak mebalas kejahatan dengan kejahatan.
Be the first to comment