“Aut Ni Na Dao” – lagu karya Nahum Situmorang

Ziarah Ke Makam Nahum Situmorang

 

Sangat sulit memperdebatkan keindahan lagu-lagu gubahan Nahum Situmorang. Semuanya bagus dan enak didengar. Syairnya padat, komunikatif, mudah diingat, dan mengenai sasaran ke telinga para pendengar.

Yang justru membahayakan adalah kalau orang yang membawakan lagu-lagu Nahum bukan orang yang tepat, tampil asal jadi, asal direkam, musiknya semrawut, dan asal dinyanyikan.

Lagu “Ro Ho Saonari” sangat pas dinyanyikan suara besar Broery Pesolima, tapi tidak dengan suara Rita Butar Butar. Lagu yang dicuri dari Itali itu, Toselli Serenade, biasa dinyanyikan bergaya opera, tapi bisa juga jadi pengantar tidur kalau Perry Como membawakannya di versi yang lain.

Dijadikan dalam bahasa Batak, lagu itu terasa bermakna seakan-akan bukan lagu yang diambil dari negeri asing. Nahum mampu memilih kata tepat untuk lagu itu, mengisahkan pertemuan perasaan yang hadir di hari kemudian, dan persis seperti yang mungkin terjadi di Batak dan sekitarnya.

Dan, ternyata,  hanya Broery yang terasa tepat melagukannya bila dibandingkan dengan penyanyi berdarah Batak sendiri, termasuk Glen Nainggolan.

Padahal Broery bukanlah orang Batak. Dia dekat dengan Batak hanya ketika digaet Rinto Harahap di pop Indonesia dan lalu melangkah bersama Trio Lasidos Plus lewat nyanyian Anakhu Na Burju.

El Simamora
El Simamora

Lagu Nahum lain “Modom ma Damang Ucok” pas sekali buat suara Rita Butar Butar seperti di rekamannya berapa puluh tahun lampau, dan masih ada di You Tube, tapi terlampau lambat dan kurang menjerit ketika Christine Panjaitan yang menyurakannya.

Lirik lagu yang menceritakan himpitan kehidupan seorang wanita itu, dan anaknya, yang ditelantarkan seorang suami yang kasar brutal, seakan-akan bukan karya seorang pria, tapi lebih tepat kata hati keluhan seorang ibu yang bertanggung jawab penuh buat kehidupan dia sendiri dan anak kecilnya sebagaimana sejatinya wanita Batak.

Sangat luar biasa naluri Nahum meneropong kehidupan yang demikian walau dia sendiri seorang pria, tak menikah, dan tak memiliki anak. Syair lagu ini sungguh sedih menggigit, menusuk sanubari.

Lagu adalah bahasa, isi hati, khayalan, petualangan jiwa, konsep yang dibahanakan dengan tangga nada. Semua lagu didasari tangga nada. Tidak bisa tidak. Dan persis sama dengan berdirinya bangunan yang blue printnya didasari rumus Tegak Lurus, lagu pun harus tetap bersentuhan dengan tangga nada. Persentuhan yang pas antara kata dan nada akan menghasilkan karya yang spesial dan spektakular.

Lagu Nahum juga demikian. Sebagai seorang seniman, dan pencinta musik, pengembara, lagu yang dia gubah dan sampaikan ke semua pendengar terutama ke generasi Batak yang masih mau mendengarkannya, adalah kehidupan yang bervariasi seperti harapan, kekecewaan, dan hati yang patah.

Di sisi lain dia sampaikan juga sukacita hidup dengan suasana alam Tano Batak yang indah, kenangan kampung halaman, dan bahkan egonya membanggakan diri sebagai seorang Situmorang – “Situmorang Na Bonggal”.

Dari musisi Batak terdahulu, Nahum berhasil memperkaya lagu-lagu Batak bersama Tilhang Gultom, Sidik Sitompul, Ismail Hutajulu, dan entah siapa lagi.

Tilhang hadir dengan  musik tradisi lama,uning-uningan, tetapi komponis lain sudah di tahap inkulturasi musik dunia dengan alat musik gitar atau piano. Ke generasi musisi sekarang yang masih hidup, dan syukur masih terdengar karya-karya bagus mereka – baik dengan syair-syair indah, pemakaian bahasa Batak yang benar, alur kata yang cermat, nada-nada yang tepat – penghargaan harus tetap dipahatkan kepada Dakka Hutagalung, Iran Ambarita, Bunthora Situmorang, Jack marpaung, Jhonny Manurung, Tagor Tampubolon, dan lain-lain yang mungkin  tidak tertuliskan di sini.

Karya mereka masih belum diwarnai kontaminasi dalam syair lagu. Tak tahulah kalau ada bahasa lain yang mereka import ke lagu Batak seperti kata-kata ini: “I’m sorry Ito, dang tarmaafpon au be ho.” Atau…”Marlina…I love you.”

Nada atau musik kedua lagu itu mungkin bagus. Tapi tidak dengan bahasanya. Tentu, bahasa memiliki dinamika. Kita semua sependapat dengan pameo itu. Itu benar. Tapi bukan berarti kedinamikaan itu menjadi suatu akulturasi untuk kelegalan sebuah karya seni, khususnya lagu-lagu dengan cara menolak bahasa sendiri.  Bahasa Batak itu kaya dan memiliki makna yang terkadang susah mendapat padanan dalam bahasa Indonesia.

Satu lagi lagu Nahum yang sarat makna adalah “Aut Ni Nadao”. Dahulu di tahun 90 an, lagu ini naik ke papan atas sewaktu dibawakan penyanyi Willy Silalahi bersama meledaknya di pasar lagu Aek Sibundong oleh Joel Simorangkir. Kedua lagu tersebut bernaung di satu album yang sama.

Hingga sekarang Aek Sibundong dengan suara Joel masihlah paling pas, walau ada penyanyi lain pernah membawakannya yang mutunya begitu-begitu saja .

Tapi ternyata lagu Aut Ni Nadao tidak hanya pas buat Willy yang melengking suaranya. Suara Victor Hutabarat ternyata tak kalah bagus, dan demikian juga Bunthora yang membawakannya dalam formasi trio.

Kita semua ingat suara Victor yang awalnya hadir dengan lagu Parsobanan, satu lagu Barat yang pernah dinyanyikan beberapa penyanyi Amerika termasuk Jose Felliciano.

Judulnya: Loving Her Was Easier…   Lagu ini kemudian masuk ke wilayah Indonesia, di-Batak-kan, dan jadilah sebuah nyanyian yang sekian lama jadi lagu indah di kalangan orang muda dan di pesta-pesta pernikahan keluarga Batak.

Bahkan Trio Axido membawanya ke studio rekaman dan mendapat pasar. Adapun orang yang mengadaptasikan lagu ini dari bahasa asing ke bahasa Batak, kalau tidak salah, adalah Daulat Hutagaol.

Walau Victor bersuara bagus, dan khas, tentu tidak semua lagu jadi semakin indah dia bawakan. Sejak ada istilah improvisasi di dunia tarik suara seperti dilakukan banyak penyanyi kulit hitam di Amerika manakala menyanyikan lagu anthem Amerika di pembukaan pertandingan final olahraga, yakni dengan cara merubah nada lagu dengan getaran tenggorokan suara yang diayunkan ke sana ke mari, Victor pun mencobai hal sama.

Dia melakukan legato-legato di beberapa lagu Batak atau lagu rohani. Hal yang sama dilakukan juga oleh Broery P dan Eddy Silitonga di beberapa tembang Indonesia.

Lagu-lagu mereka larikan nadanya ke bentuk lain. Atas nama improvisasi, dan berbagai teknik tarik nafas sesukanya, sebagian dari lagu itu terpaksa kita berhentikan berputar karena meninggalkan rasa sakit di telinga.

Syukur, lagu Aut Ni Nadao jadi indah dibawakan Victor walau struktur kata-katanya terasa berubah dari yang terdahulu. Agaknya Victor terbawa ego supaya lagu ini berbeda urutan syairnya dengan lagu bawaan Willy atau Bunthora cs.

Entahlah bait-bait mana yang akurat. Perbedaannya terdengar di bait awal dan di bait ke dua. Walau demikian, hentakan suara Victor yang bergelora, dan penjiwaannya yang diselaraskan dengan makna lagu, backing vocal, nada musik, dan bahkan melodi saxophone yang kaya, yang dihadirkan seakan-akan menjeritkan suara hati Nahum, membuat lagu ini sangat berharga.

Gaya musiknya agak mirip dengan lagu Crazy yang disuarakan Julio Iglesia. Tiupan saxophone yang terdengar berulang-ulang seperti mengantarkan kita memasuki  bar di kota New Orleans  dengan lagu-lagu blues, tatkala menyeberangi  malam, sembari mematuk-matuk waktu, menuju pagi.

Sambil berpraduga, Nahum sepertinya menghadiahkan lagu ini kepada dunia sebagai satu kegagalannya dalam bercinta dengan wanita yang dikasihinya, konon, Boru Simorangkir, dari Silindung, nalambok malilung.

Tidak disebutkan seberapa kacaunya hati dan perasaan Nahum karena gagal cinta itu di dalam kehidupan. Tak juga ada cerita betapa rusuhnya hati Boru Simorangkir mendengarkan lagu-lagu hirauan Nahum setelah Nahum terbuang.

Tak ada ukuran hati  frustrasi seperti timbangan para ahli jiwa, tapi Nahum akhirnya tetap memilih sendiri hingga ajal menjemputnya di usia 62.

Kematiannya, sedihnya, adalah diakibatkan sakit hati yang dalam bahasa Indonesia bisa bermakna ganda. Artinya, bukan sakit organ tubuh saja seperti liver sclerosis di dunia medis kedokteran, tapi sakit hati – sakit perasaan yang datangnya merusak kejiwaan, frustrasi, sedih, atau kenestapaan yang penyebabnya bisa saja karena gagal asmara oleh berbagai hal seperti yang menimpa Nahum Situmorang yang malang.

Nahum telah berlalu, tapi karyanya tetap abadi. Lagu “Aut Ni Na Dao” ini menyampaikan motivasi kuat seorang lelaki untuk menggapai cinta yang dimiliki pada wanita yang dikasihi dengan melewati semua rintangan.

Sayangnya, sebagaimana kehidupan seniman yang tulus, jujur, bukan pemain, tidak pengikut Don Juan, cinta itu pun gagal, terbengkalai, dan pecah berkeping-keping menjadi kekecewaan.

Pada ayat ke tiga, Nahum  menyerukan  amarah yang dia miliki, menyumpahi, dan menyampaikan kutuk karena cintanya yang tersandung.

Mari menyimaknya.

          “Ipe tonggohonku ma ito tu Mula Jadi

Asa saut ma ho..ooo  muse ito sumolsol bagi

Ikkon aeoooo…oonmu ma  ito sapata ni si doli

Tung mansai hansit do i… parir nai…”

Cinta memang terkadang membawa luka. Dan seirama dengan duka.

Demikian Nahum menghadiahkan lagu ini buat kita semua.

(El Simamora/ Tinggal di Amerika)

 

IKLAN

1 Comment

  1. Lagu” dulu emang enak” di dengar lae, baik syair maupun tonenya, tp bgm pandangan lae dgn lagu” batak skrang ini?

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.