GEREJA JANGAN JALAN SENDIRI

Oleh: Andar Pasaribu

Ephorus HKBP Pdt WTP Simarmata (Kiri)

 

Konferensi Misi 20 Tahun Internasionalisasi United Evangelical Mission (UEM) terselenggara dengan baik di Dumaguete City, Filipina, mulai 26 Juni hingga 1 Juli 2016. Dihadiri 30 ahli missiologi, teolog, pimpinan gereja dan praktisi dari berbagai gereja di Asia, Afrika dan Jerman berkumpul di Universitas Silliman, membahas relevansi dan pemahaman Missio Dei bagi UEM pasca-20 tahun internasionalisasinya.

Seperti diketahui, bahwa pada 1996, melalui keputusan Sidang Raya UEM di Bethel, Bielefeld, lembaga misi; Jerman Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) diubah struktur dan kepemilikannya menjadi lembaga misi internasional bernama: United Evangelical Mission (UEM). Melalui perubahan ini, maka gereja-gereja Jerman, Asia dan Afrika memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam struktur, pengambilan keputusan dan keuangan.

Salah satu wujud nyata internasionalisasi UEM pascakeputusan ini adalah terpilihnya Dr Fidon Mwombeki dari Tanzania menjadi Sekretaris Jenderal UEM, non-Jerman pertama mulai 2004-2015.

Peserta Konferensi Misi 20 Tahun Internasionalisasi UEM
Peserta Konferensi Misi 20 Tahun Internasionalisasi UEM

Harus diakui, bahwa kata; “misi” telah banyak memperoleh kritik tajam khususnya di Eropa, karena misi selalu dikaitkan dengan kolonialisme dan kekerasan khususnya pada masa kolonialisme di abad 18-19.

Namun, sejalan dengan perkembangannya, lembaga-lembaga misi di seluruh dunia termasuk UEM dan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) telah intensif mengadakan studi dan kajian ilmiah untuk memahami misi dalam hakikat yang sesungguhnya.

Dalam konferensi UEM di Filipina, para peserta sepakat, bahwa internasionalasi UEM telah berhasil memenuhi makna hakiki dari Missio Dei yakni perjuangan mencapai kehidupan yang seutuhnya (Fullness in Life).

Prof Dr Dieter Becker, mantan mahaguru di STT-HKBP dan Augustana Seminari mengatakan dalam kuliah umum, bahwa otentisitas misi terletak pada pertemuan manusia dengan Allah sehingga manusia itu mengalami keutuhan dalam kehidupannya. Misi bagi UEM tidak lagi dipahami sekedar sebagai gerakan kristenisasi, namun menyaksikan Kristus dalam wujud pembangunan, perjuangan untuk perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan, diakonia, kemitraan dan pekabaran injil.

Dalam konferensi tersebut terlihat para peserta yangb erasal dari konteks yang berbeda memiliki perbedaan pemahaman dan pengalaman dalam menjalankan misi Allah di Asia, Afrika dan Jerman.

Perbedaan ini, jelas nampak dalam Anggaran Dasar yang dibahas pada 1993 dan disahkan pada 1996. Pembaharuan Anggaran Dasar UEM memakan waktu yang lama sebelum disahkan karena setiap pembahasan membutuhkan bukan hanya pemikiran ekklesiologi dan teologis yang mendalam, namun juga kepelbagaian realita kehidupan yang dihadapi oleh umat Kristen di konteks mereka masing-masing. Seperti situasi yang dihadapi oleh umat Kristen sebagai minoritas di Indonesia dan Srilanka.

 Pdt-WTP-Simarmata-bersama-pendeta-HKBP-yang-sedang-kuliah-di-Filipina

Pdt-WTP-Simarmata-bersama-pendeta-HKBP-yang-sedang-kuliah-di-Filipina

Dr Josef Hehanussa, dosen Teologi di Universitas Kristen Duta Wacana secara lugas menyuarakan, bahwa umat Kristen membutuhkan bukan hanya dialog di atas meja dan hanya di kalangan pimpinan umat semata. Dialog harus menjadi bagian kehidupan setiap umat dan melibatkan hingga sampai ke kalangan akar rumput. Dialog harus dinyatakan dalam aksi bersama seluruh umat beragama untuk membangun saling pengertian dan saling menerima di dalam kehidupan bersama.

Pdt Willem TP Simarmata, Vice Moderator UEM dan Ephorus HKBP, dalam ceramah bertajuk; “Partnership in Mission within UEM, whenceandwither” (Kemitraan di dalam Misi UEM, dari mana dan mau ke mana?) mengakui peliknya persoalan yang dihadapi oleh umat Kristen pada dekade ini. Aksi kekerasan atas nama agama, pengrusakan lingkungan, konflik internal dan politik hingga pada kekerasan di tengah-tengah keluarga tidak mungkin diselesaikan jika gereja-gereja berjalan sendiri-sendiri.

“Karenanya, setiap komponen gereja harus turut bersama dalam arak-arakan oikumene, bersama bekerja mempergunakan talenta dan kemampuan yang mereka miliki,”kata WTP Simarmata.

Dalam pesan bersama dari konferensi tersebut, para peserta melihat urgensi peran UEM memperdalam tema-tema hidup bersama dengan penganut umat yang lain. Di samping itu, UEM diharapkan menjadi pionir dalam memperjuangkan keadilan gender, khususnya peran perempuan dalam setiap aras pelayanan.

Peserta juga menyuarakan agar dukungan kepada aksi-aksi solidaritas bagi pengungsi di Jerman, Asia dan Afrika harus lebih diintensifkan. Program pertukaran sumber daya manusia juga diharapkan lebih digiatkan lagi sebagai wadah untuk saling belajar dan saling menerima, khususnya di antara gereja-gereja di belahan selatan.

Seluruh peserta konferensi sepakat, UEM telah berhasil membuktikan 20 tahun internasionalisasi melalui berbagai program dan aksi solidaritas di antara seluruh gereja anggota UEM dan berharap akan terus berlanjut di masa kini dan mendatang.

Penulis Dr Andar Pasaribu Departemen Training & Empowerment UEM, Wuppertal

IKLAN

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.