
Ada yang galau dengan hiruk-pikuk pengembangan Danau Toba, akhir-akhir ini. Wajar saja—meskipun masih tahap menduga-duga yang didominasi perasaan akibat kekhawatiran berlebihan. Bahkan dapat dimaklumi, apabila ada komentar yang menggelinding—“jangan sampai tanah di sekitar Danau Toba dan Pulo Samosir pindah tangan kepada orang luar.”
Betul, tanah leluhur dan tempat tumpah darah, jangan sampai diperjualbelikan gara-gara pembangunan pariwasata dengan iming-iming, menjadikan “Danau Toba Monaco of Asia.”

Tak ada yang salah, bahkan sah-sah saja apabila ada niat memoles Danau Toba, agar lebih memesona serta gesit bersaing dengan obyek wisata berkelas dunia lainnya. Namun jangan terkecoh—soal identitas dan kearifan lokal—jangan pula diutak-atik atau direcoki dengan unsur budaya lain yang belum tentu lebih baik dari budaya lokal.
Sekedar perbandingan, ada teori negosiasi identitas yang dikembangkan para sarjana ilmu komunikasi seperti Stella Ting-Toomey, yang diulas dalam buku: Theories of Human Communication: Stephen W Little John dan Karen A Foss, menyebutkan, identitas etnik meliputi; nilai isi (value content) dan ciri khas (salience)
Disebutkan dalam teori itu, ciri khas etnik merupakan kekuatan afiliasi yang kita rasakan. Identitas kita ditentukan seberapa kuat kita terikat kepada kelompok yang ada di lingkungan kita.
Pandangan Stella Ting-Toomey, secara sederhana—identitas kita akan tetap terjaga dengan baik, apabila tetap terikat dengan lingkungan sekitar kita (budaya lokal) Keterikatan dan kepatuhan terhadap budaya lokal menciptakan ciri khas budaya, yang menjadikan pemilik budaya itu bangga karena ada keistimewan atau ciri khas yang tidak dimiliki suku lain.
Seharusnya, ciri khas serta identitas etnik inilah yang harus tetap dijaga dan dirawat, jangan sampai tersingkir lantaran masuknya budaya lain melalui jalur industri parawisa. Jikalau Danau Toba hendak dipercantik bagaikan bidadari yang molek—tidak ada persolan, tetapi apabila identitas yang sudah ribuan tahun menyatu dengan kehidupan penduduk sekitar Danau Toba, “terganggu” dan mendadak bergeser karena masuk budaya lain, ini menjadi persolan besar?
Ada sejumlah identitas etnik dan budaya Batak di seputar Danau Toba dan Samosir yang sudah turun-temurun dipatuhi dan dirawat penduduk setempat. Misalnya, sistim kekrabatan orang Batak yaitu; Dalihan na Tolu—somba marhulahula- elek marboru dan manta mardongan tubu yang sudah ribuan tahun dilakoni orang Batak dalam pergaulan kekrabatan. Sistim kekrabatan yang sarat nilai-nilai luhur ini, sangat kental mewarnai kehidupan warga Batak di daerah ini—hidup rukun dan damai saling hormat menghormati dan menghargai.
Sebab itu, sangat diyakini, orang Batak yang tinggal di kawasan Danau Toba dan Samosir, tidak akan mendadak berubah menjadi “orang lain” karena derasnya arus wisata ke daerah ini. Selain unsur Dalihan na Tolu, penduduk setempat juga terkenal sangat religius—lantas kekhawatiran akan “berubah” karena ada; cafe, bar, resto dan hiburan malam, tidaklah semuanya benar. Budaya dan adat yang sudah berakar kuat, setidaknya bisa menghadang faktor negatif dari arus budaya asing yang masuk melalui jalur parawisata.
Itu sebabnya, identitas dan ciri khas yang sedemikian indah dan elegan yang dimiliki penduduk lokal harus dipelihara, yang boleh jadi tidak dimiliki suku lain di dunia ini. Identitas ini pun—sudah sejak lama diwariskan turun-temurun oleh orang Batak yang tinggal di Pulo Samosir dan Danau Toba. Bahkan sudah tertancap kukuh dalam kekerabatan orang Batak di mana pun berada. Sebab itu, sangat tidak mungkin identitas ini dapat dinego dengan kemilau budaya lain.

Meskipun disebut-sebut Danau Toba menjadi pariwisata dunia yang bergengsi, namun identitas lokal harus tetap terjaga baik. Ingat, justru ciri atau identitas lokal inilah (budaya) salah satu market menjual wisata Danau Toba ke penjuru dunia. Selain itu, identitas lokal ini, sekaligus daya tarik bagi wisatawan untuk datang ke Dana Toba. Karena, di tempat ini ada “keunikan” yang tidak dimiliki obyek wisata di daerah lain. Keunikan itu, hanya dapat dijumpai di Danau Toba dan Samosir.
Harap maklum, pada konteks wisata, budaya dengan pariwisata berada pada posisi saling mendukung. Sebab, budaya adalah simbol masyarakat sekitar yang mewakili hasil cipta dan karya manusia, sedangkan pariwisata rangkaian perjalanan yang bersifat sementara untuk berbagai tujuan. Seperti; berlibur, menikmati keindahan alam dan budaya serta bisnis.
Lantas, budaya lokal—selain daya tarik—juga menambah nilai lebih bagi wisatawan yang berkunjung. Tak heran apabila pengelola pariwisa sering menggandeng pariwisata dengan budaya menjadi aktivitas pertukaran informasi dan simbol-simbol budaya yang meliputi; tradisi, kesenian, upacara dan identitas yang dapat dinikmati wisatawan. Kolaborasi seperti ini juga sudah sering dilakukan melalui: Pesta Danau Toba.
Tidak berlibihan—budaya sangat mempengaruhi prospek dari kegiatan pariwisata. Bahkan budaya, tidak akan pernah lepas dengan pariwisata—tanpa adanya budaya, kegiatan pariwisata tidak menarik—terasa hambar sebab budayalah yang menarik perhatian para wisatawan.
Melalui budaya jugalah wisatawan mengetahui seluk beluk serta kebiasaan daerah yang dikunjungi. Apabila ada budaya yang menurut mereka unik, akan memberi rasa puas tersendiri. Ini juga yang diharapkan—budaya lokal bisa menarik minat wisatawan mengunjungi Danau Toba, yang memiliki budaya yang khas.
Memang, Danau Toba sebagai daerah pariwisata, memliki potensi budaya yang amat strategis untuk mendukung pengembangan pariwisata—tidak terkeculai seni dan musik tradisional yang ada di daerah ini. Apalagi pemain musik tradisional; tagading, garantung dan sarune yang handal banyak di daerah ini maupun di Samosir.
Musik tradisional Batak atau uning-uningan tidak kalah menarik ditampilkan pada event tertentu maupun pada perhelatan wisata Danau Toba. Sebut misalnya, group musik pimpinan; Sarido Ambarita, hingga saat ini masih eksis dan sering tampil di berbagai kegiatan di Parapat.
Betul, ada yang meragukan orang yang tinggal di Danau Toba, belum siap menerima pembangunan Danau Toba, apalagi sebagai destinasi parawisata berkelas dunia (Monaco of Asia?) karena tatakrama dan sopan santun penduduk setempat yang kurang simpati terhadap pengunjung.
Ada benarnya, tapi bukan berarti tidak bisa diperbaiki—meskipun memakan waktu lama. Caranya, penggiat wisata dan pedagang serta yang bersentuhan langsung dengan wisata boleh saja tour meninjau tempat wisata yang sudah maju, profesional dan santun.
Misalnya, mengajak mereka ke Bali, ke Toraja atau ke luar negeri Singapura dan Pattaya, Bangkok yang masih di lingkup Asia. Sekedar perbandingan, bagaimana mereka mengelola sektor parawisata serta bagaimana mereka mempersiapkan sumber daya manusianya. Kunjungan seperti ini lebih efektif ketimbang; seminar, sarasehan dan pidato-pidato pariwisata.
Walaupun pesimis terhadap sumber daya manusia yang ada di wilayah Danau Toba, tapi janganlah memukul rata (overgeneralized) bahwa penggiat, pedagang dan pemilik kios di daerah ini tidak baik. Bila ini terus dikumandangkan, bukan tidak mungkin ini akan menjadi “reklame” yang tak sedap terhadap parawisa Danau Toba.
Menurut teori pun, seperti yang dikembangkan; Larry A Samovar, Richard E Porter dan Nemi C Jain, dalam buku: “Understanding Intercultural Communication,” sikap yang memukul rata atau menyamaratakan budaya atau disebut streotypes culture yang acap dilakukan secara terselubung—ketahuilah bahwa ada faktor pemaksaan dengan cara meremehkan budaya orang lain. Lalu memandang budaya dan adatnya paling beken dan hebat!
Belum terlambat! Sebaiknya ke depan, ada pembekalan dan pembinaan secara rutin kepada penggiat wisata, pedagang, pemilik penginapan, supir, penyedia jasa perahu, kapal, keamanan dan penyedia tikar di pantai. Mereka ini yang paling efektif mengibarkan bendera parawisata Danau Toba sebagai destinasi wisata yang ramah, santun dan aman.
Sebab, merekalah yang langsung bersentuhan dengan pengunjung ke Danau Toba. Berada di garda terdepan. Sebaiknya, dibekali pengetahuan praktis; etika dan sikap berhadapan dengan orang lain (tamu) Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan kepada tamu pengunjung Danau Toba. (bas)
Be the first to comment