
Seminar yang mengusung tema; “Strategi Menjaga Kerukunan Antar Umat Beragama,” diselenggarakan di Pos Parmingguan HKBP Serpong Gading, yang diprakarsai HKBP Gading Serpong, Tangerang, Banten, belum lama ini.
Narasumber yang diundang; Irjen Pol AP Simanjuntak SH, KH Baikandi, Pdt Patar Soaduon Napitupulu dan Pdt Jeirry Sumampow.
AP Simanjuntak dengan topik bahasan; “Gambaran Umum Kerukunan Umat Beragama di Indonesia,” memaparkan beberapa ancaman terhadapa kerukunan. Anatara lain, ancaman radikalisme dan terorisme. Radikalisme bisa saja terjadi dalam agama, etnik dan akibat kebijakan pemerintah. Bisa juga karena penertiban lahan, masalah ruang publik atau kaki lima.
Sebab itu, AP Simanjuntak, meminta agar semua pihak sama-sama menjaga keharmonisan antarumat dan keharmonisan intern umat. Dalam kondisi seperti ini, peranan tokok masyarakat sangat dibutuhkan, untuk menjelaskan kepada warganya, sehingga ditemukan sikap saling menghargai dan menghormati antarumat beragama. Begitu juga pertemuan dan dialog sebaiknya terus ditingkatkan baik dengan pendekatan personal maupun secara bersama-sama.
Termasuk cara-cara menghindari isu sara yang bisa menimbulkan gangguan terhadap kelompok tertentu, harus dijelaskan kepada masyarakat cara menghindarinya supaya mereka paham. Menjelaskan kepada umat atau masyarakat, bahwa perbedaan bukanlah permusahan.

“Umat beragama harus disadarkan, dan diberikan pemahaman, bahwa perbedaan itu harus dirawat sehingga timbul sikap saling menghormati dan menghargai yang lain,”ujarnya.
Ia menambahkan, tindak kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok tertentu, apa pun alasannya dan motifnya, tidak dapat dibenarkan. Karena melanggar hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusian, selain mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.
KH Baikandi dengan bahasan; “Membina Keanekaragaman Suku dan Agama untuk Membangun Masyarakat Indonesia untuk Lebih Terhormat.” Di hadapan peserta seminar Baikandi menegaskan, umat Islam atau ajaran Islam melarang tindakan kekerasan terhadap siapa pun dengan alasan apa pun. Islam tidak mengajarkan kekerasan maupun pembunuhan kepada orang yang berbeda dengan Islam. Kalaupun ada yang mengatasnamakan agama Islam dan membawa-bawa simbol Islam, itu bukan mewakili Islam.
“Sebab, Islam adalah damai, melindungi kebersamaan dan menghormati perbedaan maupun agama lain,” kata Baikandi pemilik Pondok Pesantren Daarul Archman, Desa Tanjakan, Rajeg, Banten.
Ia menganjurkan, agar ulama dan tokoh masyarakat serta kaum cendikiawan, bersama-sama membina warga dan bergandengan tangan mewujudkan cita-cita, visi dan misi bangsa sehingga bangsa Indonesia menjadi bagsa yang terhormat di mata dunia.

Supaya kebersamaan terus dibina dengan melakukan berbagai kegiatan sosial , seperti; bergotong royong, membantu masyarakat lemah, orang miskin, janda dan membantu anak yatim. Selain itu, melakukan perbuatan baik, mencintai sesama dan sikap toleran serta membanguan hubungan sosial yang tidak dibatasi doktrin agama.
Dia mencontohkan pesantren yang diasuh melakukan kerjasama sosial dengan masyarakat dan tidak dibatasi oleh agama. “Alhamdulillah, banyak yang mendukung termasuk beberapa warga HKBP dan Katolik,” kata Baikandi yang dikenal suka bergaul kepada siapa saja dan dekat kepada pendeta.
Hal senada disampaikan Pdt Patar Soaduon Napitupulu, Praeses Distrik Banten, dari pengalamannya sewaktu pendeta di Sukabumi. Menjalin hubungan baik dengan lingkungan sekitar dan bergaul dengan siapa saja sehingga menjadi saudara dan sahabat yang baik.
Ia rajin mengunjungi pesantren sewaktu di Sukabumi. Sampai sekarang persahabatan mereka masih terus belanjut dengan beberapa kiayi pemilik pesentren. “Lama kelamaan terjalin kekeluargaan yang harmonis meskipun berbeda agama, dan saya sebagai pendeta,” kata Patar yang juga Ketua Umum PGI Wilayah Banten ini.
Sesuai topik ceramahnya; “Identifikasi Masalah yang Dihadapi Jemaat HKBP dalam Menjaga Kenyamanan Pelayanan di Distrik XXI Banten dan Solusinya.” Ia menyarankan agar diperbanyak pendekatan-pendekatan langsung kepada masyarakat sekitar di mana kita berada. Menghormati lingkungannya dan mengenal orang-orang yang ada di sekitar kita sehingga menjadi saudara sendiri.
Disebutkan, tidak semua persoalan yang dihadapi gereja datang dari luar gereja, tapi justru dari dalam gereja (internal) itu sendiri. Persoalan internal sering menjadi pemicu konflik hingga menjadi meluas keluar gereja. Sebab itu, perlu langkah pendekatan dengan menghargai dan menghormati lingkungan dan orang-orang yang di sekitar kita.
Patar memberi contoh, kepada pendeta yang melayani di Distrik Banten, dia minta agar bergaul dan menghargai lingkungan dan orang yang ada di sekitarnya. Harus mengenali lingkungan di mana dia tinggal. Harus kenal RW dan RT, lurah dan camat. Memperkenalkan diri kepada mereka. Jangan sampai bertahun-tahun tinggal di tempat itu, lurah pun tidak dikenal. “Begitu ada persoalan, baru repot ke sana kemari,” kata Patar Napitupulu yang menerima penghargaan “Pendekar Banten” ini.
Pembicara selanjutnya, Jeirry Sumampow dengan judul makalah; “Sikap PGI Dalam Menjaga Kelangsungan Pelaksanaan Beribadah.” Disebutkan, kebebasan menuntut tanggung jawab. Antara kebebasan dengan tanggung jawab memang berkelindan sangat erat. Ia mengutip, pernyataan Martin Luther, Bapak Reformator itu, dalam traktat: On the Freedom of a Christian.
Pertama kali diterbitkan November 1520 dalam bahasa Latin, sang Reformator menegaskan, umat Kristen, sebagai anak-anak yang telah ditebus Allah, tidak lagi terkungkung oleh hukum agama, melainkan berdiri bebas merdeka di hadapan Allah yang Maharahim. Walau begitu, mereka dengan sukarela dan bebas melayani Allah dan sesama.
Jeirry menambahkan, pengakuan atas kebebasan dasar manusia dalam menanggapi kasih karunia Allah berimplikasi juga pada “kesetaraan agama-agama” sebagai jalan atau cara yang dipilih Allah untuk menyapa manusia. Itu sebabnya, fakta kemajemukan (pluralitas) di Indonesia, termasuk di dalamnya kemajemukan agama dan keyakinan, sebaiknya disyukuri dan dirayakan.
Fakta kemajemukan tersebut meminta sikap dasar pluralisme, yakni kemauan bertenggang rasa (toleransi) menghormati perbedaan keyakinan dan pandangan hidup, serta mengusahakan dialog dan kerjasama. Maka pemutlakan suatu keyakinan atau sikap keberagamaan yang tidak menghormati keyakinan atau sikap keberagamaan yang lainnya, sesungguhnya merupakan pemiskinan (reduksi) terhadap kekayaan yang ada di dalam kemajemukan.
Jika Allah sendiri sangat menghormati martabat dan kebebasan manusia, makhluk ciptaan-Nya, maka menjadi jelas bahwa tidak ada kekuasaan di muka bumi yang dapat merendahkan martabat manusia atau mengekang kebebasannya atas nama apapun. Satu-satunya yang dapat “membatasi” martabat dan kebebasan manusia, adalah martabat dan kebebasan orang lain. “Prinsip dasar inilah yang melandasi persoalan pembatasan forum externum kebebasan beragama/berkeyakinan,” kata Jeirry.
Dia berpendapat, perlu re-thingking agama: Menilai kembali pemahaman diri masing-masing. Sampai sejauh mana warisan pemahaman diri membantu dalam menghadapi tugas dan tantangan baru. Apakah konsep dan paradigma teologis kita masih sesuai dengan konteks pergumulan gereja secara lebih menyeluruh?
Jeirry Sumampow, menyarankan agar pendidikan kewarganegaraan digalakkan. Kemudian memperkuat solidaritas sosial; simpati dan empati (kepedulian) serta aksi nyata, tak sekedar formalitas belaka, mencari jalan keluar bersama terhadap persoalan ekonomi-sosial.Begitu juga pendidikan agama, perlu diperbaiki serta membekali guru dengan pendidikan toleransi beragama.
(Baharuddin Silaen)
Be the first to comment