
Para musisi Batak turut serta membangun dan membentuk karakter, pola pikir, pandangan hidup dan spiritualitas masyarakat Batak. Melalui gubahan lagu, lirik dan syair lagu ciptaannya, yang sarat dengan pesan-pesan etis, moral dan spiritual.
Sebab, melalui syair lagu tersebut dengan sendirinya telah membentuk prilaku dan karakter hidup sesuai dengan isi syairnya.
Ada lagu yang cukup dikenal dan tidak pernah usang dalam kehidupan masyarakat Batak, yaitu Anakhonhi do Hamoraon di Au – Anakkulah kekayaan bagiku.
Lagu ini berisikan pesan bahwa orang Batak tetap harus menyekolahkan anaknya, bahkan akan disekolahkan setinggi-tingginya. Lagu ciptaan Nahum Situmorang ini, luar biasa pengaruhnya dalam kehidupan keluarga Batak.
Ada pesan dalam lagu ini, kemiskinan orang tua tidak menjadi penghalang menyekolahkan anak demi memperoleh pendidikan yang tinggi. Sebab orangtua akan menyekolahkan anaknya sekuat tenaga, sedaya-mampu mungkin; intap ni na tolap gogongki.
Hasilnya, telah terbukti sekarang. Banyak orang Batak yang telah berhasil meraih pendidikan tinggi bukan karena orang tuanya kaya. Semangat menyekolahkan anak, kegigihan agar anak memperoleh pendidikan yang disambut dan direspon oleh anaknya dengan baik. Itulah yang membuat anak dari keluarga Batak berhasil meraih gelar sarjana dalam berbagai bidang pendidikan.
Namun akhir-akhir ini, ada lagu yang sangat merusak semangat pendidikan dan pembentukan masa depan anak di kalangan keluarga Batak. Lirik dan syair lagu itu adalah Anak Medan. Lagu itu sangat merusak dan berbahaya sekali.
Selama ini, orang tua menyekolahkan anaknya dengan berjerih-payah, bersusah-payah, sebagaimana dipesankan Anakhonhi do Hamoraon di Au, tetapi lagu Anak Medan justru memberi pesan murahan.
Simak syair lagunya; “pohon pinang tumbuh sendiri tapi dapat menantang awan.
Biar kambing di kampung sendiri, tapi banteng di perantauan.
Hassur demi kawan, siap bela kawan berpartisipasi.”
Lagu ini benar-benar menampilkan sosok seorang jagoan, tetapi kampungan, tidak bermoral dan tidak punya visi masa depan. Ia siap menantang siapa saja dengan kekuatan otot atau fisik. Anehnya, dan itulah bahayanya, lagu Anak Medan ini sangat disukai dan lama menjadi top hits di masyarakat Batak.
Lagu Anak Medan dinyanyikan di berbagai pesta, pesta gereja maupun pesta adat, pada saat orang bergembira maupun pada saat keluarga berduka, dengan tanpa memaknai lirik yang penting happy, musik berdayun, dan semua manortor.
Padahal di dalam sebuah lagu ada lirik yang memiliki pesan penting yang harus dimaknai, bahkan diwaspadai agar tidak mengotori nilai-nilai teologi, etis, dan norma yang sudah tertata dengan baik.
Akhir-akhir ini memang banyak musisi Batak, melalui karya ciptaannya, yang berhasil dan sukses dalam menciptakan lagu sebagai top hits. Bahkan banyak di antara lagu yang top hits tersebut memberi pesan spiritualitas yang sangat tinggi, dan memberikan paradigma baru tentang budaya Batak secara kristiani.
Lagu Anakhu Naburju ciptaan Soaloan Simatupang, Tangiang ni Dainang, ciptaan Tagor Tampubolon adalah contoh lagu yang berhasil memberi gambaran sosok ibu dalam keluarga yang tekun berdoa untuk kesuksesan anaknya.
Lagu Soripada Naburju, juga ciptaan Tagor Tampubolon juga berhasil menggambarkan sosok seorang ibu yang sangat mencintai keluarga, termasuk melayani dan mencintai mertuanya. Pesannya adalah: songon lambok ni nambur pambahenanmi tu damang dainang i.
Lagu Boru Panggoaran, ciptaan Tagor Tampubolon adalah kritik terhadap budaya Batak yang selalu mengutamakan anak laki-laki di dalam keluarga. Seolah-olah bila belum atau tidak mempunyai anak laki-laki, sekalipun sudah mempunyai anak perempuan, keberadaan keluarga itu dianggap tidak sempurna.
Pesan lagu Boru Panggoaran merubah paradigma budaya Batak tentang posisi anak perempuan di dalam keluarga. Lagu ini justru memberikan pesan bahwa putri sulunglah, bukan putra sulung, memberikan harapan di hari tua.
Lagu ini berhasil memposisikan anak perempuan secara setara dengan anak laki-laki di tengah-tengah kehidupan keluarga.
Masih ada beberapa lagu yang merupakan kritik sosial terhadap budaya Batak. David Siahaan dan Otto Hasibuan mempersembahkan kritik terhadap pola laku keluarga Batak yang menghormati orang tuanya seting-tingginya ketika sudah meninggal dunia, tetapi yang tidak peduli tentang nasibnya ketika masih hidup di kampung halamannya.
So marlapatan manortor, marembas, margondang hamu, dung mate au.
Uju di ngolungkon ma nian, tama bahenonmu na denggan.
Itulah jeritan orang tua terhadap anak-anaknya. Tetapi sayangnya, mereka tidak memperhatikan hidup orang tuanya ketika masih hidup. Pesan yang tulus dan luhur ini, sedikit banyaknya sudah merubah perilaku kebanyak orang Batak terhadap orangtuanya yang sudah tua renta di kampung halamannya.
Menyimak karya cipta para musisi Batak ini, layaklah diberi penghormatan. Mereka adalah pendidik, penasihat bahkan pengkhotbah melalui ciptaan lagunya. Kita hormat dan salut kepada mereka.
Tulisan ini adalah bentuk penghormatan kepada para musisi Batak yang telah berhasil membentuk spiritualitas, mendidik dan memberi nasihat sesuai dengan nilai-nilai kekeristenan.
Para musisi Batak ternyata telah lebih dahulu merestorasi pemahaman berkeluarga, sebagai bapak, ibu dan anak yang benar di tengah-tengah keluarga, gereja dan masyarakat.
(Penulis Pdt Dr Darwin Lumbantobing Ketua Rapat Pendeta HKBP)
Maju Selangkah.