
No Handle on The Cross (Tidak Ada Pegangan pada Salib) Ini judul buku yang ditulis Kosuke Koyama, teolog Kristen asal Jepang (10 Desember 1929-25 Maret 2009) Teolog yang menghargai muatan lokal. Teologi kontekstual.
Teologia yang dianut Koyama, diwarnai pengalamannya sebagai misionaris di berbagai tempat antara lain; Thailand, Jepang.
Melalui karyanya yang ditulis 1977 ini, Koyama hendak mengeritik gaya hidup umat Kristen, pengikut Kristus—khususnya Kristen yang ada di Asia—yang telah bergeser dan terlanjur meniru gaya hidup yang serba praktis.
Setidaknya, ada pemahaman teologi salib yang bergeser dari pundasi asalnya. Sebutkanlah, hidup praktis sudah terlanjur masuk jauh ke dalam pengalaman spiritual dalam Tuhan (teologia) umat Kristen yang keliru.
Umat Kristen, lupa dan tergesa-gesa meninggalkan tradisi ber-Tuhan (iman) yang baku—kemudian rame-rame masuk dalam suatu kebiasaan baru—yang diyakini akibat pengaruh teknologi modern yang turut menggerogoti sendi berteologi itu sendiri. Semua dibuat terbuai—asyik dan dimanjakan oleh peradaban modern sehinga semua serba gambang dan praktis.
Bayangkan, manusia tidak mau lagi ambil pusing kepada hal yang ruwet, yang ada resiko—tidak mau capek, ogah memikul beban berat—kalau bisa gampang kepana harus dipersulit? Jika perlu, beban berat didegelasikan kepada orang lain. Atau membayar orang lain memikul beban berat tersebut.
Anehnya, asumsi berpikir pun dibalik; kalau bisa jalan pintas kenapa harus menempuh jalan jauh berliku, berbatu dan berlubang? Kalau bisa disogok kenapa harus antri berjam-jam mengurusnya. Kalau bisa berbohong kenapa harus jujur?
Kalau bisa ditenteng kepanapa musti dipikul. Bukankah, menenteng lebih bergengsi dan tampak gagah dan keren. Bukankah memikul tampak kaku—tidak bergaya—loyo, tertekan dan menunduk. Tidak dilirik, bahkan orang lain memandang remeh—bongkok karena memikul beban. Dekil dan kurang menjajikan.
Rupanya pengikut Kristus pun melakukan hal yang sama, ketika memikul salib, macam-macam reaksi. Aneh, tak sudi memikul, lalu direkayasa—salib dimodivikasi—dibuat pegangan pada salib. Umat Kristen tidak lagi rela memikul salib, tapi lebih memilih menenteng salib—itu dianggap lebih aman dan praktis. Tampil keren, gagah dan menjajikan. Laksana saudagar besar dan toke keren, menenteng koper berisi dokumen berharga dan cek bernilai miliaran.
Kebiasan yang salah kaprah ini, membuat Koyama tersentak, lalu dengan lantang dia mengatakan; “tidak ada pegangan pada salib?” Ia khawatir, jangan sampai menjadi trend dan dianggap wajar, memikul salib harus praktis—ditenteng atau dijinjing seraya dada dibusungkan dengan langkah tegap dan percaya diri.
Salib (stauros) ditenteng, tidak perlu dipikul. Kalau bisa ditenteng kenapa musti dipikul?
Kosuke Koyama berseru dari asal kelahirannya, Jepang, seperti suara yang berseru di padang gurun; “Tidak ada pegangan pada salib” (No Handle on The Cross) Jangan kalian lakukan yang salah! Jangan rekayasa salib Kristus. Tahukah kalain, salib harus dipikul—bukan ditenteng?
“Tidak Ada Pegangan pada Salib,” ini bentuk seruan kenabian—ada pesan hakiki yang tidak boleh diabaikan—mengembalikan dasar pemahaman memikul salib yang benar berlandaskan firman Tuhan dalam Alkitab. “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” Matius 16: 24.
Kalau ingin mendadani Yesus, kata Koyama, supaya tampil keren, seperti membuat hiasan di jubahnya, silahkan! Tapi jangan pernah membuat pegangan pada salibNya supaya bisa ditenteng atau dijinjing. Itu sangat fatal dan sesat! Itu adalah penghianatan besar dalam kepercayaan iman kepada Yesus Kristus.
Ibarat manusia yang ditutup matanya dengan kain hitam—lalu disuruh berjalan. Sama halnya dengan membuat pegangan pada salib, itulah yang disebut keyakinan atau beriman tanpa mata—tidak bisa melihat. Meraba-raba dan tidak tau arah! Sosok Kristen yang meraba-raba yang harus dituntun supaya jangan masuk jurang. Menyedihkan!
Memang, jauh sebelum Kosuke Koyama dari Jepang, Marthin Luther telah mempopulerkan teologi salib (Latin: theologia crucis) yang mengarah kepada keyakinan iman. Salib merupakan sumber pengetahuan spiritual mengenai siapakah Allah dan bagaimana Ia melakukan penyelamatan atas ciptaanNya.
Hanya saliblah yang mampu menyatakan kegagalan manusia untuk mengerti kehendak Allah. Umat manusia dipersatukan oleh Roh Kristus melalui pertobatan hanya di salib. (1 Korintus 12:13; Roma 8:9)
Bahkan hanya pada salib ada jaminan keselamatan yang dimeteraikan oleh Roh Kristus. (Efesus 1:13-14).
Selanjutnya, teologi salib yang dirujuk dari kesaksian Alkitab, memperjelas—manusia tidak mampu melakukan kebenaran. Bahkan manusia tidak dapat menambahkan apa pun ke dalam kebenaran Allah yang dinyatakan pada pengorbanan Kristus-Yesus di salib. Manusia tidak mampu membenarkan dirinya sendiri—jikalau tidak ada yang membenarkannya.
Hanya Allah yang mampu membenarkan manusia—yang telah mengerjakan segala sesuatu secara sempurna penuh dalam dan melalui karya Kristus-Yesus.
Begitu juga keyakinan Paulus tentang penebusan umat manusia melalui kematian Yesus di kayu salib diungkapkannya dengan tegas: “Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci” (1Korintus 15:3) Ini landasan teologi salib Paulus.
Tradisi dari para pendahulunya ini diterima oleh Paulus, dan merupakan dasar bagi refleksi teologisnya berkaitan dengan membangun keyakinannya bahwa salib adalah hikmat yang sejati.
Itu sebabnya, Paulus hanya ingin mengetahui Kristus yang tersalib: “Aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1Korintus 2: 2) Salib Kristus juga memancarkan hikmat rencana Allah yang sudah dibicarakan dalam Perjanjian Lama (1Korintus 1: 19)
Harus dimaklumi, memikul salib dan menyangkal diri, suatu bentuk pengorbanan serta kerelaan merendahkan diri secara total. Berarti, harga diri dan gengsi, ketika memikul salib akan lepas dengan sendirinya. Hanya dengan demikanlah orang dapat memikul salib!
Harus dimaklumi juga, memikul salib bukan soal logika—masuk akal atau tidak—melainkan bagian dari iman hasil keputusan di atas banyak pilihan yang menggiurkan.
Tetapi tidak dapat disangkal, bahwa bagi sebagian orang salib adalah batu sandungan (The offense of The Cross) “Orang-orang Yahudi misalnya, menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1 Korintus 1:22-24)
Bagi orang Yahudi salib adalah scandalon. Bagi orang Yunani adalah morion yang berarti: “ketololan, kebodohan.” Namun bagi kita yang telah diselamatkan oleh Kristus adalah; Theou dunamin atau kekuatan Allah dan Theou sophian atau hikmat Allah. (Galatia 5: 11)
Selain itu, Yesus menegaskan, setiap orang harus memikul salibnya sendiri—tidak boleh ditumpangkan kepada orang lain. Memikul salib tidak boleh gotong royong—dipikul rame-rame. Bukan pula dititipkan apalagi dijinjing dengan tangan. Harus dipikul di atas pundak masing-masing oleh siapa yang mengaku pengikut Kristus.
Ini syarat mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar. Barang siapa mau mengikut Kristus, harus menyangkal diri dan memikul salib. Tidak ada pilihan lain!
Sebaliknya, menyangkal diri atau mengosongkan diri bukanlah hal yang gampang. Soalnya menyangkut multiego manusia yang bersentuhan simultan dengan ke-aku-an (egoisme) yang lebih mempertahankan ego manusia dan inilah yang paling susah ditaklukkan.
Hebatnya, justru hal yang paling susah itu, yang diminta Yesus untuk dilawan dan ditaklukkan; yaitu mengosongkan diri—menyangkal diri—intropeksi diri—berani jujur kepada diri sendiri—merendahkan diri—berani mengakui bahwa “aku tidak layak dan tidak ada apa-apanya” selain Dia yang mencipatakanku.
Memikul salib itu hina. Betul, seperti orang bersalah yang mendapat ganjaran. Tapi bagi pengikut Kristus—memikul salib keharusan yang mutlak. Salib selain lambang Kristen tapi di sana terdapat janji yang pasti, tidak perlu diragukan—karena Yesus sendiri telah menggenapiNya, ketika mati di kayu salib di Golgota.
Sejak itu, salib adalah gambaran penderitaan dan pengorbanan, tapi bagi orang yang diselematkan Kristus, salib adalah kekuatan Allah yang membebaskan penderitaan menjadi hikmat Allah.
Sebab itu, jangan ragu—pikullah salib dan ikutlah Yesus.
BAS
Be the first to comment