
Tanjung Pinang terletak di Pulau Bintan dengan semboyan; “Jujur Bertutur Bijak Bertindak.” Tanjung Pinang adalah Ibu kota Provinsi Kepulauan Riau, memiliki beberapa obyek wisata yang menarik. Kotanya bersih dan sepanjang kiri dan kanan jalan tumbuh pohon membuat udaranya bertambah segar.
Sejak Muhammad Sani dipercaya untuk memimpin Kota Administratif Tanjung Pinang, berbagai perkembangan di ibu kota Kepulaun Riau ini terus menggeliat. Bahkan semasa dia memimpin, Kota Tanjung Pinang tumbuh menjadi kota perdagangan dan jasa serta tujuan wisata yang banyak diminati.
Drs H Muhammad Sani, lahir di Kundur, Karimun, Kepulauan Riau, 11 Mei 1942 adalah Gubernur Kepulauan Riau, terpilih dua periode 2010-2015 dan 2016-2021. HM Sani terkenal merakyat dan suka bergaul kepada siapa saja. Tak heran kalau HM Sani disenangi warganya karena sifatnya yang suka turun langsung, pekerja keras dan dekat kepada masyarakat.

Tanjung Pinang kota yang ramah dan warganya hidup rukun dan saling menghargai. Warganya ada; Islam, Kristen, Buddha, Konghucu dan Hindu. Mereka terdiri atas; Melayu, Tionghoa, Jawa, Minang, Bugis, Laut dan Batak.
Selain itu, di daerah ini berbagai obyek wisata sering dikunjungi wisatawan domestik dan luar negeri. Ada Pulau Penyengat yang hanya berjarak kurang lebih dua mil dari pelabuhan laut Tanjung Pinang, Pelabuhan Sri Bintan Pura. Pantai Trikora dengan pasir putihnya terletak kurang lebih 65 kilometer dari kota dan pantai buatan yaitu Tepi Laut yang terletak di garis pantai pusat kota yang mempercantik wajah kota (waterfront city).
Begitu juga kapal jenis feri dan feri cepat (speedboat) terdapat di Pelabuhan Sri Bintan Pura untuk akses domestik ke Pulau Batam dan pulau-pulau lain seperti; kepulauan Karimun dan Kundur, serta kota-kota lain di Riau daratan, juga merupakan akses internasional ke Malaysia dan Singapura.

Kota Tanjung Pinang bagian dari Kerajaan Melayu, setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugal, Sultan Mahmud Syah menjadikan kawasan ini sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Malaka. Kemudian menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Johor, sebelum diambil alih oleh Belanda terutama setelah Belanda menundukkan perlawanan Raja Haji Fisabilillah tahun 1784 di Pulau Penyengat.
Pada masa kolonial Belanda, Tanjung Pinang ditingkatkan statusnya menjadi pusat pemerintahan dari Residentie Riouw pemerintah Hindia-Belanda. Kemudian di awal kemerdekaan Indonesia, menjadi Ibu kota Kabupaten Kepulauan Riau.
Setelah menjadi Kota Administratif, Kabupaten Kepulauan Riau hingga 2000, berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2001, pada 21 Juni 2001, statusnya menjadi Kota Tanjung Pinang.
Tanggal 21 Juni 2001 adalah hari jadi Kota Tanjung Pinang. Pusat pemerintahan yang semula berada di pusat Kota Tanjung Pinang di pemukiman padat penduduk kemudian dipindahkan ke Senggarang (bagian utara kota) sebagai pusat pemerintahan.
Sebagian wilayah Tanjung Pinang merupakan dataran rendah, kawasan rawa bakau, dan sebagian lain merupakan perbukitan sehingga lahan kota sangat bervariasi dan berkontur. Tak heran, apabila jalan-jalan di kota Tanjung Pinang, menurun dan mendaki, sebab daerah perbukitan. Tapi, hampir semua kondisi jalan mulus, nyaris tidak ditemukan lobang, bersih dan tidak berdebu.

Suku Melayu merupakan penduduk asli dan kelompok suku bangsa yang dominan di Tanjungpinang, selain itu terdapat juga suku Bugis dan Tionghoa yang sudah ratusan tahun berbaur dengan suku Melayu dan menjadi penduduk tetap semenjak zaman Kesultanan Johor Riau dan Residentie Riouw.
Suku Bugis awalnya menetap di Kampung Bugis dan suku Tionghoa banyak menempati Jalan Merdeka dan Pagar Batu. Suku Jawa mulai ramai mendatangi Tanjung Pinang pada 1960, pemukiman awal suku Jawa terletak di Kampung Jawa.
Penduduk Tanjung Pinang menggunakan bahasa Melayu klasik. Bahasa Melayu di kota ini hampir sama dengan bahasa Melayu yang digunakan di Singapura, karena memang sejak zaman pemerintahan kesultanan Riau Lingga dahulu Tanjung Pinang sudah menjadi pusat budaya Melayu bersama Singapura. Bahasa Tiochiu dan Hokkien juga banyak digunakan oleh suku Tionghoa di Kota Tanjung Pinang.
Kota Tanjung Pinang terdapat pelabuhan domestik dan internasional yaitu Pelabuhan Sri Bintan Pura, terminal yaitu Terminal Sei Carang serta bandara internasional, Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah.
Pada 2001, sektor perdagangan, hotel, dan restoran memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam membangun perekonomian kota Tanjung Pinang.
Pulau Penyengat merupakan salah satu kawasan wisata di Kota Tanjung Pinang. Pulau seluas 3,5 kilometer ini, berada di sebelah barat Kota Tanjung Pinang dan dapat ditempuh 15 menit dengan transportasi laut.
Terdapat banyak peninggalan lama dengan wujud bangunan dan makam yang telah dijadikan situs cagar budaya di Pulau Penyengat. Selain itu, juga dijumpai kelenteng atau vihara di kawasan Kampung Bugis dan Senggarang yang sekaligus menjadi kawasan wisata religi.
Obyek wisata lainnya juga dapat ditemukan di Pantai Impian, Tugu Pensil, Tepi Laut, Mall Ramayana Tanjung Pinang, Bestari Mall, Bintan Indah Mall.
Wisatawan yang berkunjung ke daerah ini didominasi dari Negara Singapura, Malaysia dan Belanda. Kota ini juga menawarkan sajian kuliner aneka hidangan laut, dan masakan Cina.
(baharuddin silaen)
Be the first to comment