SOVINISME DAN KAFIR

Baharuddin Silaen

Baharuddin Silaen

Suatu ketika, seperti berada dalam kegelapan, membuat hati cemas campur aduk dengan ketakutan. Ini adalah sisi lain dari suatu negeri yang suram lantaran tertutup awan hitam: sovinisme.

Sovinisme—sifat membenarkan dan mengagungkan suku atau budaya, agama, ras dan golongan sendiri, lalu menganggap remeh dan tak becus suku atau budaya, agama, ras dan golongan lain.

Sauvinisme atau sovinisme (bahasa Inggris: chauvinism) adalah ajaran atau paham mengenai cinta tanah air dan bangsa (patriotisme) yang berlebihan. Entah mengapa, chauvinisme berubah menjadi fanatisme ekstrem yang membabi buta terhadap suatu kelompok yang diikutinya.

Adalah Nicolas Chauvin, seorang prajurit setengah mitos pada zaman Napoleon Bonaparte—fanatik terhadap kaisarnya meskipun Chauvin sendiri miskin, cacat dan menerima perlakuan buruk. Sejak itulah istilah sovinisme membentang luas hingga ke wilayah; agama, politik dan budaya dengan konotasi jelek dan miring.

Anehnya, ada di mana-mana orang terjangkit aliran sovinisme—lantas ikut-ikutan latah—arogan kendati tidak jelas juntrungannya—asal serta tak punya landasan kokoh. Berlebihan dan cenderung memaksakan superioritas agama, ras atau budaya tertentu dan memandang rendah agama, ras, atau budaya lain.

Harap dimaklumi, hampir semua paham yang berlebihan (ekstrem) diyakini, ada sejumlah faktor pemaksaan—rekayasa dan pembohangan di dalamnya. Argumen ini pernah menjadi kajian ahli komunikasi, Buller dan Burgoon; “Interpersonal Deception Theory” (Teori Kebohongan Interpersonal)

Disebutkan, kebohongan melibatkan manipulasi informasi, perilaku dan citra yang dilakukan dengan sengaja untuk membuat orang lain memercayai kesimpulan dan keyakinan palsu.

Kebohongan, menurut Buller dan Burgon; bagian dari interaksi yang terus berlanjut antarpelaku komunikasi yang menggunakan proses maju mundur.

Tak heran, orang yang doyan bermain di wilayah rekayasa informasi, sangat lihai mengelabui siapa saja, sehingga nyaris semua kebohongan berjalan mulus tanpa kelihatan ada manipulasi.

Tak kepalang tanggung—tidak peduli murka Tuhan atas perbuatannya yang menyimpang dari jalan Allah. Tapi justru sebaliknya, apa yang dia lakukan diyakini; “atas restu Allah.”

Asal tau saja, ciri orang yang menganut paham sovinisme; meremehkan, merendahkan, mencemooh budaya, agama dan kepercayaan lain dan membanggakan, membenarkan, mengagungkan budaya, agama dan kepercayaan sendiri sebagai yang paling baik dan sempurna.

Bukan itu saja, tapi sikap yang gampang menghakimi orang lain dan memfitnah serta menghujat serta menyebutnya kafir—ini juga bagian tak terpisahkan dengan paham sovinisme. Gampang menuduh orang lain dan kelompok lain kafir—ini juga termasuk dalam bingkai sovinisme yang berlebihan.

Selain itu, pola pikir yang selalu memandang negatif pihak lain, ternyata memperparah penghayatan ajaran agama—akibatnya tak pernah mau kritis terhadap kekurangan maupun kelemahan ajaran agama yang dianut. Tidak berani intropeksi! Malah, diembat begitu saja apa yang diajarkan guru kepadanya. Apalagi otoritas kitab suci disakralkan sebagai doktrin yang tidak boleh diutak-atik—tidak boleh tidak harus taat dan tunduk total.

Tapi justru yang memilukan, betapa banyak kerugian akibat fanatisme yang membabibuta. Kelakuan arogan yang diikuti tindak anarkis yang acap merugikan pihak lain. Tak kepalang dampak negatif menyebar merusak tatanan kehidupan bersama. Saling mencurigai bahkan dibayang-bayangi ketakutan menjadi pemandangan sehari-hari.

Sifat buruk seperti ini akan terus berkembang dan sukar dibasmi, kecuali mampu memandang orang lain sebagai saudara sendiri, meskipun berbeda agama, status sosial, ideologi suku dan budaya. Itu pun harus dimulai dari lingkungan kecil dan rumah tempat tinggal yang nyaman, toleran dan damai.

Ketahuilah, fanatisme berlebihan yang tertanam dalam diri seseorang, bermula dari ajaran yang keliru—diterima dari orang yang tak layak atau kompoten untuk itu. Atau sengaja ditafsirkan keliru, kemudian dibelokkan sesuai selera agar tercapai tujuan. Atau memang dipelihara oleh konspirator yang suatu saat dapat dikerahkan menjadi “kerumunan besar” di jalanan sebagai bentuk perlawanan kepada pihak yang tak disenangi.

Ralp Epperson seorang sejarawan, dosen dan penulis buku yang terekenal; Invisible Hand, memaparkan, konspirasi itu benar-benar ada dan sangat besar, berurat berakar, sehingga kuat. Konspirasi tersebut berusaha menguasai seluruh umat manusia secara mutlak dan kejam dengan menggunkakan perang, depresi, inflasi dan revolusi untuk mencapai tujuan.

Tujuan pasti dari konspirasi (konspirator) adalah menghancurkan semua agama, semua pemerintahan yang berkuasa dan semua lembaga kemanusian kuno dan mendirikan suatu tatatnan dunia baru di atas kehancuran yang telah mereka ciptakan.

Beruntung masih ada pihak, kelompok, organisasi yang tak henti-hentinya mencari solusi meredaman sifat fanatisme yang berlebihan. Malah masih banyak di antara kita yang rindu mewujudkan persaudaraan sejati. Mereka bersama melangkah sambil mengibarkan persaudaraan sejati berdasarkan kesadaran bahwa Tuhan tidak membeda-bedakan suku atau budaya, agama, ras dan golongan.

Tidak ketinggalan semboyan yang menyejukkan dikumandangkan, menciptakan kondisi hidup yang lebih baik untuk semua orang. “Kami cinta damai. Damai itu Indah. Saling menghormati dan menghargai. Akhiri kekerasan terhadap sesama umat Allah.”

Begitu juga orang beriman yang berniat baik, tak kentinggalan menggelar kesaksian profetis atas keadilan sosial dan ekonomi. Mereka bergandengan tangan mengusung tema; membela masyarakat lemah, orang miskin, janda dan anak yatim. Mereka juga rajin menyerukan dengan damai; agar penindasan dan ketidakadilan diakhiri. Berbagi dan saling menolong sesama umat manusia ciptaan Tuhan.

Betul, perbuatan baik berdasarkan kemanusiaan, harus terus digelar di mana saja, kapan saja oleh siapa saja. Mencintai sesama dan sikap toleran menjadi motto bersama untuk menyingkiran kelakuan intoleran.

Selain itu, kerjasama lintas agama untuk membangun hubungan sosial yang tidak dibatasi doktrin agama. Membentuk forum persaudaraan antarumat beriman, wadah beriteraksi dan berdialog. Termasuk membangun sistem politik yang bebas dari segala bentuk konflik kepentingan antargolongan dan agama.

Seandainya ini bisa terlaksana dan dilakukan oleh kita semua, alangkah mulianya kita sebagai umat Allah. Hidup rukun dan damai. Akrab dan bersahabat.*** Bas

(Penulis Baharuddin Silaen mengajar di Fisipol UKI Jakarta)

IKLAN

1 Comment

  1. Paham mirip sovinisme yg berkembang menjadi fanatisme di dalam kehidupan umat beragama dapat saja tumbuh subur bukan hanya di kalangan umat yang berbeda agama, tapi juga di kalangan umat beragama yang sama baik secara pribadi lepas pribadi maupun kelompok. Begitu juga yang terjadi di kalangan Gereja yang beragam aliran, seperti: Katolik, Protestan, Pentakosta dan Kharismatik, paham seperti itu yang menganggap aliran atau ajaran/dogma Gerejanya yang paling benar, meskipun sama-sama orang Kristen atau Pengikut Kristus. Perbedaan atau keberagaman seyogianya dapat menciptakan betapa indahnya kerukunan antar umat beragama sesama makhluk ciptaan Tuhan, tapi rasa fanatisme yang berlebihan justru dapat menciptakan gap bahkan perpecahan dan permusuhan. Karena itu seluruh umat beragama perlu menyadari dan memahami, bahwa Sang Khalik yang kita puji dan sembah itu adalah Tuhan atau Allah yang universal, yang kebenaranNya ada juga pada ajaran atau kehidupan umat beragama yang lain. Tuhan atau Allah itu Maha Hadir dan kehadiranNya tidak boleh kita batasi misalnya dengan tembok-tembok Gereja dan mengatakan di luar Gereja tidak ada kebenaran. Selain Agama Kristen maka Kebenaran Tuhan atau Allah yang universal itu ada juga pada Agama lain, seperti Agama Islam, Hindu dan Buddha, karena itu mari kita pupuk rasa Toleransi Beragama demi kerukunan umat di Indonesia!

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.