
Mental asli para elite berikut tindak laku yang memuakkan dan serampangan, kian terang benderang mencuat kepermukaan, tat kala isi rekaman pembicaraan diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) berkaitan dengan kasus Freeport.
Selain memuakkan, mereka telah mempertontonkan dagelan murahan kelas pinggiran ke ruang publik sehingga ratusan juta rakyat dapat menilai begitu parahnya mentalitas sejumlah elite banggsa ini.
Lihatlah, ketika mengidentifikasi isi rekaman, mereka justrru sibuk bersilang kata yang dibumbui manuver politik—seakan memuaskan hasrat dan ambisi yang pokok persoalan diseret jauh ke luar materi pokok. Gaduh dan memalukan!
Sadar atau setengah sadar, itulah tipe kaum elite yang kita miliki di negeri ini. Ternyata, masih sebatas itulah kemampuan mereka—memahami fakta dari suatu peristiwa. Entah disengaja atau pura-pura bodoh, pola pikir seperti itu masih dipelihara—padahal sungguh menyesatkan bahkan membuat hati teriris.
Soalnya, cenderung membaca yang tidak tertulis dan menafsirkan keliru fakta yang sebenarnya. Diaduk sesuka hati dan tak beraturan.
Simaklah perdebatan yang kurang pantas mewarnai sidang MKD, beberapa anggota MKD mempertanyakan motivasi Sudirman Said, melaporkan masalah itu ke MKD serta kedudukan hukum dia sebagai pelapor. Tampak dalam perdebatan itu, posisi Sudirman terkesan dipojokkan oleh sebagian anggota MKD.
Lalu Sudirman Said, menjelaskan, motifnya melaporkan kasus itu ke MKD untuk memuliakan Dewan. “Orang yang mengadu seharusnya dilindungi, dimuliakan, tidak dijadikan seperti orang yang bersalah,” kata Sudirman menjawab pertanyaan anggota MKD.
Sebelum kasus PT Freeport Indonesia terbongkar, sejumlah tokoh yang terlibat, pada saat masih berada di zona aman—ketika mereka berbicara di hadapan orang banyak dan di hadapan rakyat misalnya, selalu tampil cantik dan elegant, bahkan gaya bicara pun diatur begitu meyakinkan. Pilihan kata yang tepat dan manjur sengaja dipilih untuk membangun komunikasi politik yang simpatik.
“Saya berjuang dan berkerja demi rakyat. Atas nama rakyat, saya rela berkorban. Meningkatkan kesejahteraan rakyat itulah yang diutamakan, bukan kepentingan pribada atau golongan.”
Inilah ucapan yang kerap didengar dari para elite. Ucapan itu membuat kita terkesima dan salut kepada sang tokoh—pimpinan dan para pejabat di negeri ini. Betapa mulianya hatinya terhadap tugas yang diembannya. Betapa pedulinya kepada orang banyak. Betapa baiknya dia memperjuangkan kepentingan rakyat.
Ucapan yang mengatasnamakan rakyat itulah yang sering terdengar ketika berbicara di depan orang banyak. Hampir semua apa yang pro rakyat, itulah yang dilontarkan sehingga yang medengar pun takjub adanya.” Inilah wakil rakyat yang benar dan peduli sama rakyat!”
Saat menyampaikan pidato, yang dihadiri banyak orang, tak ketinggalan menyapa dengan santun. Bahkan memposisikan dirinya sejajar dengan orang banyak. Berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Materi pidato terusun rapi sehingga mengalir lancar tanpa hambatan, yang mendengar senang dan gembira. Takjub! Seorang pemimpin yang pro rakyat menyampaiak harapan akan masa depan. “Inilah pemimpin yang mau mendengar keluah kesah rakyat.”
Setiap berkunjung dan bertemu orang banyak, dia berbicara yang berkaitan dengan kehidupan rakyat. Mendahulukan kepentingan rakyat ketimbang kepentingan keluarga dan partai.
Tampil dengan sosok yang rendah hati dan tidak macam-macam. Layak didukung sebagai wakil rakyat.
Sayang, apa yang diucapkan di depan orang banyak, sangat beda ketika dia berdada di belakang. Depan dan belakang tak sama!
Semua bertolak belakang—ketika berada di depan orang dan saat berada di belakang—antara ucapan dan perbuatan tidak berbanding lurus. Sikap dan ucapan sama sekali tak sama. Beda di depan dan di belakang!
Ini termasuk kategori kejahatan menurut Rorty, yang mengembangkan budaya post-filsafat, terjadinya kejahatan (pembohongan) yang dilakukan seseorang, ketika ia berada di luar dari niat baik terhadap sesamanya, mereka berada di luar dari niat dan harapan sosial atas kehidupan bersama.
Bahkan, cenderung mengambil jarak dari tuntutan hidup bersama, menjauh dari desakan solidaritas hidup, menyingkir dari gerakan kemanusiaan serta ingin hidup dalam kesempitan moralitas dan keyakinan religius metafisisnya yang primitif dan irasional.
Memang, saat berada di depan orang, bukan main baiknya dan sangat peduli. Apa yang dipercakapkan di depan orang—menjanjikan dan penuh pesona.
Selama berhadapan dengan orang nyaris tak ada yang perlu dicurigai. Sesekali ditimpali tawa dan canda, membuat orang di hadapannya makin akrab. Pintar merangkai kata untuk meyakinkan orang lain.
Tapi gambaran yang serba baik itu hanya terjadi ketika di depan orang. Tidak kelihatan ketika berada di belakang orang.
Ketika di luar wilayah kerja dan ketika tidak ada lagi yang mengawasi perilaku dan perbuatan. Seakan boleh bebas menipu—berdusta dan main akal-akalan.
Mencatut dan menipu satu paket yang tak terpisahkan. Sayang, lupa bahwa dia bukan “orang biasa” yang bisa makan bakso di pinggir jalan—kapan saja dan di mana saja. Lupa menjaga harkat dan martabat.
Aneh memang, justru wajah ganda yang dikemas amat rapi—sarat tipu muslihat yang tersebar. Rupanya, sudah kebanyakan bohong dan pura-pura. Pura-pura berpihak kepada rakyat. Pura-pura mendukung kepentingan rakyat.
Pura-pura wakil rakyat yang baik. Pura-pura jujur. Bahkan, ngotot tak pernah mengaku maling.
Kepura-puraan seperti itulah yang makin terang benderang ketika sidang kasus Freeport digelar. Siapa yang tidak tercengang menyaksikan adegan para elite—sangat berbeda ketika di depan orang dan ketika di belakang. Omong kosong. Tak becus. Sontoloyo. Tak dapat dipercaya. Stupied
Simak apa yang disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Aqil Siroj, isi rekaman pembicaraan yang diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Kehorman Dewan, sangat menyninggung rakyat. Mereka yang bicara dalam rekaman itu tidak pantas lagi wakil rakyat.
Tidak dapat dipastikan, apakah perilaku semacam ini ada kaitannya dengan teori konspirasi; George Orwell, seorang sosialis Inggris, yang pernah menulis buku; Animal Farm (1984) Ia menguraikan tentang paradigma kekuasaan yang dimiliki seseorang, suatu ketika orang (pihak) yang berkuasa tidak peduli dengan keabadian saudaranya, tetapi dia hanya peduli dengan keabadiannya sendiri. Siapa yang memegang kekuasaan tidak penting karena struktur hierarkinya akan selalu sama.
Tetapi ingatlah; pribadi yang kokoh dan akan semakin kukuh ketika dia berani bsersikap jujur pada diri sendiri.***
(Baharuddin Silaen)
Penulis Baharuddin Silaen, mengajar di Fisipol UKI Jakarta
Be the first to comment